Kabar Latuharhary

Komnas HAM RI Dorong Upaya Perlindungan Pekerja Sektor Perikanan dan Kelautan dengan Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 188

Latuharhary – Perlakuan keji dan sewenang-wenang terhadap anak buah kapal diklasifikasikan sebagai bentuk perbudakan modern (modern slavery). Komnas HAM RI memberikan perhatian terhadap fenomena tersebut dan berkomitmen untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah. 

Sebagai dasar  perlindungan terhadap para pekerja perikanan, International Labour Organization (ILO) mengeluarkan Konvensi Nomor 188 Tahun 2007 tentang Pekerjaan dalam Perikanan (Work in Fisheries). Indonesia menjadi salah satu negara yang belum meratifikasi konvensi tersebut.

 “Konvensi ini dapat digunakan menjadi salah satu instrumen penting untuk mencegah atau mengatasi persoalan ketenagakerjaan atau buruh-buruh kita yang mengalami eksploitasi, terutama di dunia perikanan dan kelautan,” ungkap Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik dalam Focus Group Discussion  yang membahas Kajian Konvensi ILO No. 188, secara daring, Rabu (14/7/2021).

Pemangku kebijakan terkait isu eksploitasi tenaga kerja perikanan turut memberikan perspektif menarik. Direktur Pelindungan WNI Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha menjelaskan bahwa perlindungan awak kapal perikanan merupakan prioritas kementeriannya. Strategi yang diimplementasikan dengan melakukan perbaikan tata kelola melalui roadmap ratifikasi konvensi ILO Nomor 188.

“Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 tidak hanya membantu mewujudkan perlindungan yang lebih baik bagi awak kapal Indonesia di luar negeri dan awak kapal Indonesia di dalam negeri, namun juga leverage (pengaruh) Indonesia dalam mendorong Negara Bendera dan Negara Pelabuhan untuk memberi perlindungan yang lebih baik. Kemlu merupakan garda perlindungan di hilir, perlu kolaborasi untuk memperkuat langkah pencegahan melalui tata kelola yang baik,” jelas Judha.

Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo juga menjelaskan urgensi meratifikasi konvensi ini. “Dengan mengikatkan diri menjadi state party dalam Konvensi ILO Nomor 188, maka akan mengakhiri tumpang tindih kelembagaan yang bertanggung jawab dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja migran sektor kelautan/perikanan dan menjadi panduan bagi kebijakan di tingkat nasional dalam tata kelola penempatan pekerja migran sektor kelautan/perikanan dalam perspektif sea-based justice,” kata Wahyu.

Deputi Bidang Koordinasi Kelautan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Basilio Dias Araujo melihat tingginya kasus eksploiatasi, penelantaran, atau pelanggaran HAM terhadap pelaut dan awak kapal perikanan berkaitan erat dengan kekosongan hukum dan regulasi nasional tentang perlindungan terhadap kelompok tersebut. Pihaknya pun berupaya menyusun harmonisasi peraturan secara menyeluruh dan membentuk Timnas Perlindungan Pelaut dan Awak Kapal Perikanan.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandra Moniaga di akhir sesi ikut berharap ada koordinasi lanjutan setelah FGD. Lantaran ia melihat komitmen yang sama untuk mendukung ratifikasi Konvensi ILO Nomor 188 dan mendorong pemerintah sebagai leading sector untuk mewujudkannya.

“Keanggotaan Indonesia dalam Dewan HAM PBB merupakan momen penting untuk serius membuktikan upaya pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia rakyat Indonesia,” kata Sandra.

Hadir pula sebagai pembicara dalam diskusi terbatas ini, antara lain Direktur Penempatan Non Pemerintah Kawasan Asia Afrika BP2MI Devriel Sogia, Direktur PPTKLN Kementerian Tenaga Kerja Rendra Setiawan, Koordinator Pengawakan Kapal DJPT Kementerian Kelautan dan Perikanan M. Iqbal,  Direktur IOJI Mas Ahmad Santosa, Direktur Safe Seas Nono Sumarsono, Akademisi Pusat Studi Asia Pasific UGM Ratih Pratiwi, Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Mimin Dwi Hartono, beserta jajaran K/L dan organisasi masyarakat sipil terkait.
 (AAP/IW)
Short link