Kabar Latuharhary

SNP Hak Kesehatan sebagai Kerangka Normatif Mengatasi Pandemi Covid-19

Kabar Latuharhary – Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kesehatan bisa menjadi tawaran kerangka normatif dalam mengatasi pandemi Covid-19 dan membangun sistem kesehatan nasional yang lebih baik di masa mendatang. Hal ini mengemuka dalam diseminasi Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kesehatan bertema “Kedaruratan Kesehatan dan Hak atas Kesehatan”, yang digelar secara daring oleh Komnas HAM pada Kamis (22 Juli 2021).

Sandrayati Moniaga dari Komnas HAM menjelaskan bahwa Standar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kesehatan merupakan respon Komnas HAM atas situasi mendesak terkait perlunya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kesehatan.

“Komnas HAM sesuai dengan kewenangan yang diatur dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM, menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP)  untuk mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai Pancasila, UUD’45, Piagam PBB, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Serta untuk meningkatkan pelindungan, penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai kehidupan,” kata Sandra.



Sandra berharap Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Hak atas Kesehatan ini dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak, mulai dari para pembuat kebijakan, masyarakat, hingga akademisi. Sehingga, semua pihak dapat secara bersama bergerak untuk memajukan hak atas kesehatan di Indonesia.

Dalam sesi pemaparan yang disampaikan oleh  Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM, Mimin Dwi Hartono, Plt. Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan, dr. Prima Yosephine, Kabid Kerjasama Lembaga Negara dan Media Massa PB IDI, dr. Ganis Irawan, Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gajah Mada, Prof. dr. Laksono Trisnantoro, muncul berbagai harapan dan tantangan atas implementasi SNP.

Mengawali, Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM, Mimin Dwi Hartono, menyampaikan bahwa Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Hak atas Kesehatan sangat komprehensif karena tidak hanya membahas mengenai kondisi masyarakat yang sedang sakit, maupun ketika menghadapi situasi pandemi, tetapi turut berbicara bagaimana kesejahteraan masyarakat ketika kondisi normal.

“Kalau kita lihat dalam Piagam WHO, bahwa kesehatan itu tidak hanya terkait dengan sakit atau sembuh. Tetapi, juga termasuk persoalan kesejahteraan sosial, ekonomi dan juga,” ujar Mimin.

Mimin menjelaskan bahwa kewajiban negara dalam konteks hak atas kesehatan ada tiga pilar penting. Pertama adalah menghormati, dalam hal ini negara wajib untuk tidak melakukan tindakan yang menihilkan atau mengurangi kemampuan setiap orang untuk menikmati hak atas kesehatan. Kedua, melindungi. Negara harus memastikan tidak ada orang atau kelompok orang, termasuk aparat Negara dan korporasi dapat menihilkan atau mengurangi kesempatan setiap orang untuk menikmati hak atas kesehatan. Dan pilar ketiga adalah memenuhi. Dalam pilar tersebut, negara memiliki kewajiban untuk mengambil langkah administratif, legislatif, judisial, dan kebijakan untuk memastikan hak atas kesehatan terpenuhi hingga pencapaian yang maksimal.

“Negara harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kesehatan. Bagaimana negara melakukan langkah-langkah yang seoptimal mungkin untuk mengatasi kondisi pandemi ini. Dan dari sisi program juga seperti apa, memang perlu banyak usaha yang sangat ekstra dari kita semua. Termasuk dengan vaksin dapat secara cepat diakses oleh masyarakat, dan bagaimana masyarakat yang positif mendapatkan akses kesehatan yang layak, termasuk tempat isolasi mandiri. Aspek ini yang kemudian melingkupi SNP Hak atas Kesehatan. Bagaimana negara harus melakukan upaya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas kesehatan,”ungkap Mimin

Untuk pemenuhan hak atas kesehatan, lanjut Mimin ada 4 indikator penting.  Pertama, adalah ketersediaan (availability). Kedua, Aksesibilitas (accesibility). Ketiga, Keberterimaan (affordability), dan Keempat adalah Kualitas (quality).

“Bagaimana ketersediaan ini dipenuhi oleh negara dalam konteks penanganan Covid-19, mulai dari ketersediaan tempat tidur, fasilitas kesehatan, vaksin dan lain-lain. Aksesibilitas, bagaimana akses masyarakat terhadap fasilitas kesehatan, akses terhadap obat-obatan, dll. Indikator ketiga adalah keberterimaan, polemik vaksin juga masih pro kontra dan terkait isu-isu lain. Jadi sangat penting untuk dialog-dialog, sosialisasi dilakukan secara masif kepada masyarakat. Indikator keempat adalah kualitas, bagaimana kita menjamin kualitas pelayanan kesehatan pada masyarakat, bagaimana menjamin sarana dan prasarana kesehatan, vaksin, obat-obatan dan lain lain memenuhi unsur-unsur yang berkualitas,” kata Mimin.

Kabid Kerjasama Lembaga Negara dan Media Massa PB IDI, dr. Ganis Irawan mengapresiasi dengan diterbitkannya Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Hak atas Kesehatan. Kerena menurutnya, dengan adanya SNP tersebut dapat memecahkan banyak masalah terkait ketidakjelasan arah penanganan pandemi Covid-19.

Ia menyampaikan bahwa ada perdebatan yang cukup panjang selama satu setengah tahun ini tentang bagaimana seharusnya penanganan pandemi Covid ini dijalankan. SNP ini apabila digunakan sebagai kerangka normatif penanganan pandemi Covid-19 ini ke depan sampai tuntas dan bisa menjadi commond ground untuk orang berbicara tentang bagaimana seharusnya penanganan pandemi.

Ganis menambahkan, kerangka normatif dalam SNP agar didorong lebih lanjut  untuk menjadi dasar penyusunan protokol penanganan kedaruratan kesehatan. Karena kita butuh satu protokol yang komprehensif dan operasional yang sudah mempertimbangkan banyak aspek, apabila kita menghadapi situasi seperti ini lagi.” ungkap dr. Ganis

Sedangkan Prof Laksono Trisnantoro dari UGM juga menyambut baik hadirnya SNP Hak atas Kesehatan. Namun dalam kondisi keuangan negara yang tergerus oleh pandemi, perlu diskusi lebih lanjut bagaimana hak atas kesehatan ini dipenuhi oleh negara. “Apa yang menjadi batas dari kewajiban negara memenuhi hak atas kesehatan,” kata Laksono.

Hal ini direspons Mimin Dwi Hartono, bahwa hal itu bisa ditemukan dalam SNP, dimana batasnya sudah diatur menurut mekanisme HAM adalah negara harus memaksimalkan sumber dayanya untuk memenuhi hak atas kesehatan secara bertahap akan tetap progesif. Adapun batas dari pemenuhan hak atas kesehatan adalah, sebagaimana diatur dalam Kovenan Hak Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, yaitu untuk memajukan kesehteraan umum dan dilakukan dalam tatanan yang demokratis.

Penulis : Annisa Radhia

Editor : Banu Abdillah

Short link