Kabar Latuharhary

Cerita Lubang Bekas Tambang yang Tak Kunjung Tuntas

Kabar Latuharhary – Operasional pertambangan menghasilkan ratusan lubang mengaga sebagai dampak dari pengambilan jutaan ton materi di dalam tanah. Lubang-lubang tersebut tersebar di tanah Kalimantan Timur dan menelan puluhan korban jiwa karena tidak adanya kontrol dari perusahaan maupun Pemerintah.

Warisan dari perusahaan pertambangan ini dibiarkan terbengkalai tanpa adanya reklamasi. Lempar-lemparan tanggung jawab antara perusahaan, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat pun terjadi. Hal ini menjadi perhatian Komnas HAM RI untuk membentuk tim khusus melalui Sidang Paripurna.

Tim bentukan Paripurna Komnas HAM RI mengadakan diskusi terfokus penyelesaian permasalahan dampak bekas lubang tambang di Kalimantan Timur melalui aplikasi Zoom, Selasa (27/10/20). Diskusi dipimpin oleh Ketua Tim sekaligus Komisioner Mediasi, Hairansyah. Didkusi ini juga dihadiri Ahmad Taufan Damanik (Ketua Komnas HAM RI), Gatot Ristanto (Kepala Biro Dukungan Penegakan HAM) dan Endang Sri Melani (Koordinator Bidang Dukungan Pemantauan dan Penyelidikan) beserta anggota tim lainnya.
 
Diskusi dilakukan dalam rangka penyusunan laporan akhir Tim Penyelesaian Permasalahan Dampak Lubang Tambang Kalimantan Timur Komnas HAM RI. Pada kesempatan ini hadir Haris Retno Susmiyati (akademisi Fakultas Hukum dari Universitas Mulawarman) dan Pradarma Rupang (Jaringan Advokasi Tambang wilayah Kalimantan Timur) sebagai narasumber.

Retno memulai paparannya dengan mengungkapkan jumlah korban jiwa yang melayang akibat bekas lubang pertambangan. “Saat ini sudah 39 nyawa yang tenggelam, jika dibiarkan tentu akan memakan lebih banyak korban”, ungkapnya.

Seakan urusan telah selesai, perusahaan pergi dengan menyisakan ratusan lubang bekas pertambangan. Pemerintah pun tidak ada ketegasan kepada perusahaan-perusahaan yang tidak melakukan reklamasi atau pengembalian ke fungsi lahan itu semula. Bahkan di beberapa tempat, bekas lubang tambang dijadikan sebagai tempat wisata tanpa didukung dengan standar keselamatan dan keamanan.

Tidak adanya kontrol dari Pemerintah dan tidak adanya transparansi yang melibatkan sejumlah masyarakat sipil maupun organisasi lingkungan disinyalir menjadi faktor utama dari maraknya lubang tambang di Kalimantan Timur. Demikian tukas Retno, “hanya antara pemberi ijin dan pemohon ijinnya saja, ini justru akan melemahkan kontrol”.

Senada dengan Retno, Rupang pun berpendapat jika Pemerintah belum maksimal memastikan keamanan dan keselamatan dalam praktek pertambangan. Timbulnya korban merupakan suatu bentuk kecerobohan yang sangat fatal oleh aparat penegak hukum.

“Sejumlah regulasi apa pun jika diturunkan dan dibuat sedemikian rupa tetapi tidak ada keseriusan dari Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat, itu akan sia-sia”, ujar Rupang.

Situasi kasus lubang tambang dianggap beberapa oknum sebagai kasus biasa, tidak ada pengawalan khusus terkait penegakan hukumnya, terutama kepada perusahaan-perusahaan yang melanggar hukum. Faktanya lubang bekas pertambangan tersebut disebut rawa, padahal masyarakat dan para aktivis yang turun langsung ke lapangan mengemukakan cekungan tersebut akibat dari adanya pertambangan.

Menanggapi diskusi yang terjadi, Hairansyah berpendapat lubang bekas pertambangan tidak bisa serta merta dijadikan tempat wisata karena berpotensi menimbulkan korban. Area wisata akan diperuntukan untuk umum, sehingga perlu adanya standar khusus yang menjamin keselamatan publik.

“Sebelum dijadikan tempat wisata perlu diperhatikan segala aspek terkait keamanannya, dan setelah menjadi tempat wisata juga harus diperjelas siapa kah yang akan menjadi penanggungjawabnya”, imbuh Hairansyah.

Lebih lanjut Hairansyah berujar jika kasus baru pasti akan muncul apabila pencegahan yang dilakukan tidak maksimal. Saat ini masih belum jelas bentuk tindakan pencegahannya, bahkan penanggungjawab untuk melakukan dan memastikan keamanan dari hasil pertambangan tersebut terkesan sedang bermain lempar-lemparan bola.

Ratusan lubang bekas pertambangan harus menjadi perhatian bersama tidak hanya Pemerintah Daerah atau Pemerintah Pusat, tetapi juga masyarakat untuk tidak menomorsatukan ekonomi dengan mengabaikan kesehatan dan keamanan. “Standar khusus yang tidak hanya aman untuk nyawa manusia tetapi juga aman terhadap lingkungan”, pungkas Hairansyah. (Ratih/Ibn)

Short link