Kabar Latuharhary

Demi Keadilan, Komnas HAM Dorong Kajian Ulang UU Pengadilan HAM

Lampung-Pengadilan pelanggaran HAM yang berat masih membutuhkan penguatan melalui revisi dan pengkajian ulang Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
 
“Undang-undang HAM keberadaannya sumir karena memang keberadaannya tidak bisa berjalan semestinya dengan pengadilan itu. Sehingga sampai hari ini kita belum bisa menuntaskan kejahatan yang sangat serius (kejahatan kemanusiaan dan genosida). Istilah populernya pelanggaran HAM yang berat.  Seakan-akan itu bukan tindak kejahatan,” tutur Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin dalam Diskusi Ahli bertajuk "Pemenuhan Korban Pelanggaran HAM Berat di Provinsi Lampung”, Kamis (7/10/2021). 

Undang-undang ini, kata Amir, telah berjalan selama 20 tahun tetapi tidak mengubah keadaan. Ia menyoroti UU Pengadilan HAM, termasuk syarat formalnya untuk dijalankan dan menyepakati upaya untuk merevisinya.

“Mungkin kita cari jalan keluar bagi buntunya proses hukum pengadilan HAM ini. Begitu banyak syarat formil dan materil yang dipertanyakan berdasarkan Undang-Undang ini,” ulas Amir. 

Konsekuensi kebuntuan tersebut tercermin dari proses penyelidikan Komnas HAM RI terhadap 15 peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Indonesia. Hanya tiga kasus yang ditindaklanjuti oleh Kejaksaan Agung sebagai penyidik, yaitu kasus Timor Timur, Tanjung Priok, dan Abepura, Papua. Vonisnya pun di luar harapan pencari keadilan. 

Ketiadaan vonis inilah yang menyebabkan pengadilan tidak dapat menentukan hak korban. Sampai saat ini hak korban belum kunjung diberikan. Padahal pihak yang paling berkewajiban memenuhi hak korban adalah negara, seakan akan merasa tidak ada tanggung jawab memenuhi hak korban dengan asumsi bahwa pengadilan belum memutuskannya. 



“Kita terus bersama-sama mendorong agar negara bisa terus memenuhi dan memulihkan hak-hak korban sehingga kita ke depan tidak terperangkap pada persoalan yang sama,” tegas Amir. 

Melalui diskusi antara Komnas HAM RI dan kalangan akademisi Universitas Lampung (Unila) ini diharapkan terbentuk forum untuk bertukar pikiran serta berbagi pengalaman dalam penanganan masalah hukum serta sosial lainnya. Forum ini utamanya dapat menjadi wadah untuk membahas beragam permasalahan di Lampung terkait penyelidikan Komnas HAM seperti peristiwa Talangsari. 

Wakil Ketua Internal Komnas HAM RI Munafrizal Manan ikut mendorong pemerintah daerah untuk mengambil peran. Lantaran  tanggung jawab perlindungan  penegakan HAM dibebankan pada negara, terutama pemerintah. Melalui diskusi ini, ia berharap dapat menghasilkan skenario atau strategi dari penyelesaian ideal legal formal bagi korban. 

“Letak masalahnya justru disitu. Secara legal formal itu berakar di UU ini. Komnas HAM meski sudah melakukan penyelidikan tetapi secara kapasitas tidak bisa meneruskan,” tutur Munafrizal.

Komnas HAM kemudian berupaya menyuarakan dan mengomunikasikan terkait hal ini dengan berbagai pihak, termasuk dengan presiden, DPR RI, dan akademisi.  Lantaran Pengadilan HAM merupakan jenis pengadilan yang khusus untuk mengadili kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. 

Pengadilan ini dikatakan khusus karena dari segi penamaan bentuk pengadilannya sudah secara spesifik menggunakan istilah pengadilan HAM dan kewenangan pengadilan ini juga mengadili perkara-perkara tertentu. Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah peradilan pidana karena memang pada hakekatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana.

"Kalau ini ada penyelesaian, sudah ada forum untuk sama-sama bisa memperoleh kebenaran materil itu, sehingga  bisa dipastikan siapa yang bersalah dan bertanggung jawab. Undang-Undang Pengadilan HAM masih memungkinkan untuk penyelesaian non yudisial melalui mekanisme KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi),” kata Munafrizal. 

Dalam diskusi ini, hadir pula narasumber lain, yaitu Anggota Komisi III DPR Taufik Basari, Akademisi FISIP Unila Ari Darmastuti, , Advokat Senior Abu Hasan Mu'an, serta Akademisi Fakultas Hukum Unila Hieronymus Soerjatisnanta (SP/IW).

Short link