Kabar Latuharhary

Membangun Toleransi Generasi Milenial

Kabar Latuharhary – Generasi milenial merupakan agen perubahan yang dapat berperan aktif untuk mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan hak asasi manusia (HAM). Komnas HAM melibatkan generasi milenial dalam kerja-kerja pemajuan dan promosi HAM.

“Generasi milenial merupakan aktor strategis yang dapat mendorong dan merawat toleransi serta memerangi intoleransi,” ucap Mimin Dwi Hartono, Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM Komnas HAM, ketika membuka acara Focuss Group Discussion (FGD) Pra Lokakarya Hari HAM 2021 bertema “Semangat Milenial dalam Kebinekaan untuk Perdamaian”. 

FGD diselenggarakan secara daring pada Selasa, 12 Oktober 2021 dan merupakan bagian dari rangkaian kegiatan peringatan Hari HAM sedunia 2021.

Mimin – sapaan akrab Mimin Dwi Hartono – menyampaikan bahwa hasil dari masukan substantif, sharing pengalaman, dan praktik baik toleransi yang telah dilakukan oleh para perwakilan generasi milenial yang hadir sebagai peserta FGD akan bermanfaat bagi Komnas HAM.

Praktik baik dan penerapan nilai-nilai toleransi dari generasi milenial sebagai bagian dari kehidupan keluarga yang plural diceritakan oleh narasumber Agnes Ernaningtyas.

“Ayah saya kedua orang tuanya beragama Islam. Keenam anaknya memiliki keyakinan berbeda sejak lahir. Dua anaknya Islam dan empat anaknya Katolik. Bahkan cucunya pun menurun. Tante saya yang pertama mempunyai empat anak, di mana dua beragama Katolik dan dua anak lainnya beragama Islam,” tutur Agnes Ernaningtyas.

Menurut Agnes Ernaningtyas, perbedaan di dalam keluarganya sudah menjadi tradisi dan telah dibangun pemahaman bahwa perbedaan itu indah. “Ini tradisi di keluarga kami yang menjadikan kami menghormati orang lain. Tidak ada hal yang perlu ditakutkan ketika kita memiliki keluarga yang plural. Perbedaan itu indah, keragaman ras, agama, dan lain-lain enjadi ciri khas negara kita,” kata Agnes Ernaningtyas.

Sementara itu terkait pentingnya penanaman nilai-nilai toleransi bagi kehidupan anak muda dijelaskan oleh narasumber kedua Muhammad Faisal, Founder of Youth Laboratory Indonesia. “Seperti kutipan perkataan profesor Slamet Iman Santoso bahwa masa muda itu tahun proyektif karena apa yang kita sukai, yakini, adopsi di masa muda akan menetap sampai usia selanjutnya. Juga Robert Stanberg, perubahan di masa muda menetap di otak. Termasuk juga nilai-nilai kultural dan toleransi yang merupakan investasi sejak remaja,” kata Muhammad Faisal.



Muhammad Faisal juga mengungkapkan bahwa preventing demographic disaster dapat dilakukan dengan cara menghidupkan gotong royong, ruang publik, literasi kultural, dan pendekatan omnikultural. Omnikultural yaitu mencari persamaan sebelum menghargai perbedaan. Selain itu, juga harus ada kegigihan untuk melewati berbagai krisis dan mindfulness.

“Kita sebagai bangsa memiliki modalitas kebinekaan. Permasalahan intoleransi menjadi permasalahan global tidak hanya di Indonesia. Negara yang maju di masa depan ditentukan dari seberapa toleran masyarakatnya,” ucap Muhammad Faisal.

Pandangan lain diutarakan oleh salah satu peserta, Firsilla Astry Buana, pemerhati isu toleransi dan ruang terbuka publik Universitas Atmajaya. Menurutnya, penciptaan ruang publik yang bersifat virtual sangat berkontribusi signifikan bagi isu intoleransi.

“Di masa pandemi ini banyak terjadi kontak virtual yang mampu memberikan gambaran perbandingan sosial, khususnya pada anak muda untuk memperoleh identitas. Perbandingan sosial itu bagaimana melihat suatu obyek atau figur tertentu untuk mengenali siapa diri kita. Ini berpotensi positif, tetapi disisi lain juga menciptakan kecemburuan sosial, seperti selebgram dengan status ekonomi sebagai standar tertentu. Di Twitter banyak akun anonim yang menjatuhkan kelompok tertentu. Jadi banyak kondisi yang mempengaruhi ketidakpastian,” ujar Firsilla Astry Buana. Menurutnya, kondisi ketidakpastian itu akan membawa pembelaan bagi suatu kelompok tertentu karena dinilai akan mengancam eksistensi kelompoknya.

Selain ruang publik virtual, Firsilla Astry Buana juga menjelaskan kaitan praktik toleransi dengan ruang publik lainnya, yaitu yang bersifat fisik. Menurut Firsilla Astry Buana, walaupun ruang publik fisik tidak berkontribusi langsung pada toleransi, tetapi dapat menjadi perantara untuk penciptaan kohesivitas sosial.

Sementara Kepala Kantor Perwakilan Komnas HAM Provinsi Kalimantan Barat, Nelly Yusnita, menyampaikan bahwa dalam merawat nilai toleransi selain penting ditanamkan ke anak muda, juga membutuhkan ruang/media untuk saling berinteraksi. “Perlu ruang untuk mempertemukan berbagai latar belakang agar saling melakukan silaturahmi dan saling mengenal, sehingga perbedaan antar mereka terkikis,” kata Nelly Yusnita.

Acara FGD tersebut dimoderatori dengan apik oleh Penyuluh HAM Komnas HAM, Kurniasari Novita Dewi, dan dihadiri oleh peserta dari kalangan aktivis muda dan perwakilan organisasi milenial, di antaranya Yayasan Inisiator Milenial Nusantara, Serikat Jurnalistik untuk Keberagaman (SEJUK), Rumah KitaB, Kabardamai.id, Pemerhati Isu Toleransi dan Ruang Terbuka Publik Universitas Atmajaya, serta dosen Institut Pertanian Bogor.

Hasil diskusi ini akan menjadi bagian penting dalam merumuskan lokakarya dengan tema HAM, toleransi, dan resiliensi pada Desember yang akan datang.

Penulis: Niken Sitoresmi.
Editor: Rusman Widodo.



 

Short link