Kabar Latuharhary

Menunggu Super Duham?

Kabar Latuharhary – "Di dalam sejarah bangsa dan bernegara, Pembela HAM melakukan banyak perubahan. Apabila tidak ada Pembela HAM, maka berbagai masalah hak asasi manusia tidak dapat diselesaikan atau negara demokratis yang diidam-idamkan tidak akan terwujud. Bagaimana kebebasan dasar hak setiap warga negara bisa dilindungi dan diekspresikan," ungkap Hairansyah, Komisioner Mediasi Komnas HAM. Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber Diskusi Tanggap Rasa "Menunggu Super Duham?" yang diselenggarakan oleh Bagian Dukungan Penyuluhan Komnas HAM, Rabu (27 Oktober 2021).

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, salah satu mandat dan fungsi Komnas HAM ialah mengembangkan kondisi yang kondusif terkait hak asasi manusia, meningkatkan penegakan dan pemenuhan HAM. "Diskusi Tanggap Rasa ini bagian dari pengembangan kondisi yang kondusif, bagaimana mengarusutamakan HAM di tengah-tengah masyarakat. Jadi setiap orang sadar akan HAM, bahwa dirinya memiliki hak yang perlu dilindungi, dipenuhi dan dihormati," ucap Hairansyah.

Hairansyah menjelaskan bahwa dalam konteks Pembela HAM, sebagian besar memang berkaitan dengan fungsi Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM. Karena menurutnya, Pembela HAM kerap kali mendapatkan kekerasan, ancaman-ancaman baik secara psikis, fisik dan juga kriminalisasi. Oleh karena itu, peran Komnas HAM adalah bagaimana merespon secara cepat ketika ada ancaman yang nyata maupun tidak nyata terhadap pembela HAM.

"Melihat dari peran pentingnya Pembela HAM dari setiap level, dalam setiap posisi apapun dia. Maka, peran Komnas HAM bagaimana merespon secara cepat ketika ada ancaman-ancaman yang nyata maupun tidak nyata terhadap Pembela HAM, baik itu dalam bentuk pencegahan, maupun dalam pelaksanaan tugas dan fungsi pemantauan dan penyelidikan," ujar Hairansyah 

Hairansyah menegaskan respon cepat dari Komnas HAM sangat penting saat ada aduan terkait ancaman-ancaman terhadap Pembela HAM. Komnas HAM melihat posisi dan peran Pembela HAM dalam peningkatan pelindungan HAM. Apabila tidak ada pembela HAM, maka masalah hak asasi manusia semakin rumit. Karena tidak ada yang menyuarakan, memperjuangkan, mempersoalkan, mempertanyakan, maupun menggugah rasa masyarakat hingga Pemerintah melalui berbagai macam bentuk baik melalui Kampanye HAM, Film, dan media lainnya.

Konsep Pembela HAM, lanjut Hairansyah merupakan setiap orang, komunitas, baik sendiri-sendiri maupun bersama – sama melakukan kerja pelindungan, pemajuan dan penegakan serta pemenuhan HAM baik di tingkat lokal, nasional, regional dan internasional. "Menghormati, menjunjung tinggi nilai-nilai universal dan perdamaian maka setiap orang tersebut dapat dikategorikan sebagai sosok Pembela HAM. Tidak harus menunggu ‘Super Duham’ terlebih dahulu bahwa orang bisa berbuat, karena kondisi saat ini tidak ideal jadi segala sesuatunya perlu diperjuangkan," pungkas Hairansyah.


Turut hadir dalam diskusi sebagai narasumber Kania Mamonto, Fasilitator Muda dan Organizer Asia Justice And Rights (AJAR), kemudian Fanny Chotimah, Sutradara Film Dokumenter, serta Irfan Ramli, Sutradara dan Penulis Naskah Film. Menurut Kania Mamonto, sosok pahlawan super yang ada di Indonesia adalah para Pembela HAM dan para korban pelanggaran HAM yang sampai dengan saat ini masih bertahan dalam impunitas tapi berani untuk bicara tentang kebenaran yang mereka alami.

"Mungkin yang aku harapkan kemunculannya adalah orang-orang yang tertindas, para korban pelanggaran HAM yang akhirnya bisa bicara ke publik bahwa ada ketidakadilan. Jadi, aku merasa penting untuk memperlihatkan bahwa yang dialami para korban ini adalah sebuah kebenaran. Mereka mengalami penyiksaan, kekerasan. Itu bukan sebuah karangan atau cerita fiksi yang bisa kita tonton di tv. Itu semua memang beneran terjadi, oleh karena itu yang saya harapkan sebenernya ruang bicara bagi para korban. Ketika mereka bicara tentang apa yang terjadi, itulah sosok pahlawan untuk aku," kata Kania.

Fanny Chotimah menyampaikan bahwa sosok pahlawan adalah seseorang yang bisa menghadapi ketakutannya seperti para korban pelanggaran HAM yang mengalami trauma dan peristiwa tragis, tetapi masih bertahan. "Dan yang pasti saya melihat stigma pada para korban ini kan sangat kuat dari masyarakat, bahkan sebagai eks tapol. Negara membuat stigma itu dengan ada eks tapol di KTP-nya, itu menghancurkan hidup mereka. Hidup setiap hari dengan kecemasan seperti itu saya rasa tidak adil, dan stigma itu telah menghancurkan serta merenggut hak seseorang. Seperti yang kita ketahui di kasus 65 tidak pernah ada peradilan, mereka tidak tahu kesalahan mereka, padahal kita negara hukum. Jadi jelas, sebagai film maker atau di film you and I keberpihakan saya pada kemanusiaan. Terlepas dari pandangan ideologi seseorang atau pilihan hidup seseorang, tidak adil apabila kita memberikan stigma, lalu stigma itu telah merenggut hak hidup seseorang, " ucap Fanny.

Sebagai Sutradara dan Penulis Naskah Film, Irfan Ramli menyampaikan bahwa apabila membayangkan tokoh super hero seperti apa yang dapat hadir di kehidupan sekarang adalah semua orang dapat hidup tanpa ada tendensi untuk jadi super, dan semua idealnya berjalan sesuai dengan yang seharusnya terjadi.

"Saya tertarik juga untuk menyoroti misalnya kerja-kerja aparat keamanan misalnya. Apabila aparat keamanan kita berfungsi sebagai apa yang kita bayangkan, rasanya itu lebih ideal. Sehingga kita tidak butuh super hero, jadi kita tidak perlu mengatasi hidup kita  dengan super hero. Karena memang yang perlu disadari pertama adalah super hero ini sebagai sebuah cerita ketika kita menonton atau membaca sesuatu tokoh super hero ini muncul sebagai simbol keberdayaan. Sementara, di kehidupan kita yang sebenarnya kita tidak butuh  super hero untuk menjadi berdaya. Kita butuh kehidupan kita sendiri untuk kemudian menjalani yang setidaknya kita inginkan," ungkap Irfan.

 

Penulis : Annisa Radhia

Editor : Banu Abdillah

Short link