Kabar Latuharhary

Kebijakan Adaptif demi Pemilu yang Aman

Kabar Latuharhary -- “Dalam konteks penyelenggaraan pemilu, maka undang-undang (UU) atau kebijakan yang ada sekarang tentu harus adaptif terhadap kemungkinan terjadinya pandemi lagi. Sehingga kita tidak gagap dan kita sudah punya pengalaman soal ini, saya kira menjadi penting untuk itu,” kata Komisioner Mediasi Komnas HAM Hairansyah dalam Diskusi Publik OnlineHAM dalam Pelaksanaan Pemilu Serentak 2024”. Acara tersebut diselenggarakan oleh Komnas HAM bekerja sama dengan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik PP Muhammadiyah Senin, 1 November 2021.

Lebih lanjut Hairansyah menyampaikan bahwa pemilu tidak hanya sekadar rutinitas semata dalam proses demokrasi. Tetapi, substansi dalam proses pemilihan umum (Pemilu) itu menjadi penting kaitannya dengan penegakan, pelindungan, dan pemenuhan HAM.

Pada kesempatan tersebut Hairansyah menyampaikan hal-hal yang menjadi rekomendasi Komnas HAM bagi pelaksanaan pemilu. Hal tersebut didasarkan pada hasil pemantauan yang telah dilakukan Komnas HAM sebelumnya, kaitannya terhadap pemenuhan hak asasi manusia (HAM).

Menilik penyelenggaraan pemilu dalam masa pandemi corona virus disease (Covid-19), Hairansyah menyampaikan beberapa poin rekomendasi. Hal pertama yang disampaikan adalah sudah saatnya bagi pemerintah untuk membuat kebijakan terpusat yang lebih kuat dalam penanganan pandemi. Hal tersebut terkait dengan tanggung jawab negara dalam aspek kesehatan publik dan penerapan sanksi yang tegas dalam penegakannya.

Hal kedua menurut Hairansyah, penting juga untuk mendorong agar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Kepolisian Republik Indonesia serta Jaksa Agung melakukan evaluasi terkait regulasi peraturan bersama untuk meningkatkan efektivitas penindakan.

Ketiga, mendorong agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara aktif berkoordinasi dan berkonsultasi dengan pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta stakeholder lainnya untuk menerbitkan regulasi pilkada yang lebih adaptif dan ramah HAM.

Keempat, pemerintah tetap menjamin hak kesehatan publik (baik sebagai pemilih, petugas dan masyarakat umum) ataupun kebutuhan lainnya yang terkena atau terdampak pandemi Covid-19.

Kelima, adanya jaminan pelindungan kesehatan dan memberikan perhatian kepada para petugas agar dapat bekerja secara nyaman, aman dan profesional setiap penyelenggaraan pemilu.

Selain itu, Hairansyah juga menyampaikan rekomendasi Komnas HAM kaitannya dengan penyelenggaraan pemilu yang free and fair. Poin pertama yang disampaikan adalah mendorong pemerintah dan DPR untuk menerbitkan regulasi yang menjamin partisipasi publik dalam pilkada secara lebih memadai.

Kedua, mendorong KPU memaksimalkan penggunaan teknologi informasi dalam hal memastikan transparansi, akuntabilitas dan efisiensi dalam menyelenggarakan pemilihan umum. “Seperti kita sekarang, penggunaan zoom meeting dan seterusnya ini harus didorong, terutama ketika beban petugas penyelenggara di tingkat KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) itu yang sedemikian berat. Mungkin bisa e-voting atau e-counting didorong untuk itu,” tutur Hairansyah. Di samping itu, juga harus terus berupaya membangun kepercayaan publik terhadap proses tersebut. Edukasi masyarakat terhadap penggunaan teknologi informasi juga harus sedemikian rupa, termasuk keamanannya. Hal ini menjadi penting ketika penggunaan teknologi informasi itu bisa memadai, memudahkan, serta mempercepat penyelenggaraan pemilu.

Ketiga, KPU bisa memberikan jaminan pelindungan dan perlakuan khusus kepada kelompok rentan, seperti penyadang disabilitas, narapidana dan tahanan, pasien rumah sakit (termasuk pasien Covid-19).

Keempat, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri memastikan proses perekaman dan penerbitan e-KTP berjalan secara masif dan maksimal, sehingga penduduk yang telah memenuhi syarat untuk memilih dapat difasilitasi memilih sebagai hak konstitusionalnya dengan baik.

Kelima, perlunya peningkatan integritas, kapasitas, profesionalisme dan independesi penyelenggara pemilu.

Keenam, bagi Mahkamah Konstitusi penting untuk menjamin proses persidangan berjalan dengan objektif, profesional dan transparan, sehingga peradilan menjadi sarana untuk mencari keadilan sejati dan tidak hanya mengedepankan aspek prosedural hukum formal semata.

Ketujuh, mendorong agar pemerintah dan DPR untuk melakukan perubahan regulasi dalam pilkada yang bertujuan untuk menjamin prinsip non-diskriminasi. Terakhir, menghapuskan atau menurunkan syarat ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari jalur partai politik dan mempermudah persyaratan pencalonan perseorangan di pilkada untuk mencegah terjadinya oligarki dan calon tunggal. “Termasuk juga di UU pemilihan presiden, ambang batasnya tentu bisa dikurangi, dalam rangka untuk memastikan tidak hanya dua pasang calon yang muncul, tetapi akan lebih banyak calon. Sehingga masyarakat memiliki banyak ruang dalam penggunaan hak pilihnya secara maksimal. Jadi, tidak hanya dihadapkan pada dua pilihan yang kemudian itu membelah warga masyarakat dan residunya sampai sekarang, kemudian muncul menjadi problem-problem HAM yang serius,” ucap Hairansyah.

Penulis: Niken Sitoresmi. 

Editor: Rusman Widodo.

Short link