Kabar Latuharhary

Komnas HAM: Praktik Penyiksaan Bertentangan dengan Amanat Konstitusi

Jakarta - Praktik penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia (ill treatment) masih terus terjadi di Indonesia. Tindakan tersebut menjadi salah satu bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, khususnya terjadi di tempat tahanan maupun di tempat-tempat yang tidak bisa diakses secara terbuka. 


 “Penyiksaan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja, yang menimbulkan rasa sakit, baik penderitaan jasmani atau rohani, untuk memperoleh pengakuan atau keterangan dan dilakukan oleh pejabat publik,”terang Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI Amiruddin dalam Pelatihan Penguatan Penegakan Hukum melalui Pendidikan Hukum Berkelanjutan bagi Organisasi Advokat, Selasa (2/11/2021).


Partisipan pelatihan terdiri atas advokat yang tergabung dalam Perhimpunan Advokat Indonesia-Suara Advokat Indonesia, Perhimpunan Advokat Indonesia-Rumah Bersama Advokat serta Kongres Advokat Indonesia secara runut mendapatkan pengetahuan tentang konsep penyiksaan. Amir juga merinci konsep mengenai penyiksaan sesuai Pasal 1 UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia.


Pada pelatihan yang mengangkat tema “Konsep dan Praktek Penyiksaan dan Perlakuan Sewenang-wenang dalam Sistem Hukum Acara Pidana”, Amir menekankan bahwa penyiksaan adalah tindakan orang yang memiliki kekuasaan kepada orang yang tidak memiliki kekuasaan.


 “Dalam konsep penyiksaan selalu ada konsep relasi itu,” tambahnya. Pada kesempatan tersebut, Amir juga menyampaikan penyiksaan merupakan “pameran kekuasaan”.


Lebih lanjut, Amir menerangkan terkait tempat-tempat yang berpotensi terjadi penyiksaan. Tempat-tempat yang dikuasai oleh pejabat publik, penjara, rumah rahasia, tahanan rahasia, kantor-kantor tertentu atau lokasi-lokasi tertutup dan sulit dijangkau,” jelasnya.


Sementara itu, praktik penyiksaan biasanya pada kondisi tertentu. ”Penyiksaan terjadi mulai saat penangkapan, pemeriksaan, penahanan, hingga selama menjalankan hukuman,” ucap Amir. Ia juga menambahkan praktik penyiksaan berpotensi terjadi di tempat tertutup dan sulit dijangkau.


Amir menegaskan bahwa tindakan penyiksaan bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia. Pengakuan dan jaminan hak untuk bebas dari penyiksaan telah diatur pada Pasal 28G Ayat 2 menyatakan “Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain”.


Pada kesempatan tersebut, Amiruddin juga mengingatkan kembali akan pentingnya meratifikasi Optional Protocol to the Convention Against Torture (OPCAT). OPCAT sendiri merupakan mekanisme internasional dalam pencegahan tindakan penyiksaan atau perlakuan merendahkan martabat dan tidak manusiawi. 


Dalam OPCAT, pencegahan dilakukan dengan membentuk sebuah sistem yang terdiri dari kunjungan berkala ke seluruh tempat-tempat penahanan di dalam yurisdiksi dan kendali dari negara peserta dan, atas dasar kunjungan-kunjungan ini, memberikan rekomendasi-rekomendasi dari ahli-ahli nasional maupun internasional kepada pihak-pihak berwenang dari negara peserta mengenai cara dan langkah-langkah pencegahan penyiksaan.


Indonesia telah meratifikasi  the United Nations Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment Punishment (UNCAT) melalui UU Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. Namun, UU ini belum menjadi rujukan dalam pencegahan tindakan penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang serta merendahkan martabat manusia. (AM/IW)

Short link