Kabar Latuharhary

Tantangan Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat

Kabar Latuharhary – Sesuai mandat Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Komnas HAM telah melakukan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Sejumlah kasus telah selesai berkas penyelidikannya dan telah diserahkan kepada Jaksa Agung untuk dilakukan penyidikan. 

“Sampai saat Jaksa Agung belum menindaklanjuti berkas-berkas penyelidikan Komnas HAM,” kata Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM diacara “Diskusi dan Pemutaran Film, 23 Tahun Tragedi Semanggi I: Mencari Keadilan” yang diselenggarakan secara daring oleh Amnesty International Indonesia, Kamis 11 November 2021.


Sandra – sapaan akrab Sandrayati Moniaga – kemudian menjelaskan secara lebih rinci bagaimana upaya – upaya yang telah dilakukan oleh Komnas HAM. Mulai dari 27 Agustus 2001, di mana pada saat itu yang diselidiki ada tiga peristiwa, yaitu peristiwa Trisakti 12 Mei 1998, Semanggi I 13-14 November 1998, dan Semanggi II 23-24 September 1999. 


Penyelidikan Komnas HAM tersebut sebagaimana dijelaskan Sandra, telah selesai pada tahun 2002. “Kita semua tahu, sampai sekarang Kejagung belum menindaklanjuti dengan penyidikan, namun terus mengembalikan ke Komnas HAM dan Komnas HAM mengembalikan lagi,” tutur Sandra.

Menurut Sandra, berkas yang dikembalikan tersebut, bukan hanya berkas Trisakti, Semanggi I, semanggi II, tetapi juga berkas-berkas lain yang sudah diserahkan. Sampai saat ini, ada ada 12 berkas, di antaranya kasus Paniai 2014, sebelumnya ada Rumah Geudong Aceh, Jambo Keupok Simpang, pembunuhan dukun santet, peristiwa 1998, Wasior Wamena 2001 dan 2003, penghilangan paksa 1997-1998, kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi I, Semanggi II, Talangsari 1989, penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, dan peristiwa 1965-1966. 

“Jadi, sampai saat ini semua berkas tersebut, terus bolak-balik antara Komnas HAM dan Kejaksaan Agung. Argumennya seperti diketahui bersama, sering dibilang kurang lengkap alat bukti, kemudian penyelidik tidak disumpah, ada juga kadang-kadang penerjemah tidak disumpah, dan lain-lain,” ucap Sandra. 

Komnas HAM kemudian mengembalikan kembali ke Kejaksaan Agung dengan pertimbangan bahwa memang Komnas HAM tidak mungkin mendapatkan bahan lain karena yang berkewajiban mendapatkan cukup alat bukti adalah penyidik, yaitu Jaksa Agung. Hal lain, terkait sumpah, menurut Sandra di dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, hal tersebut juga tidak diatur.

Lebih jauh menurut Sandra, melihat adanya kondisi demikian yang terus menerus, Komnas HAM terus berupaya mendorong pemerintah agar segera menindaklanjuti penyelidikan Komnas HAM tersebut. Selain itu, Komnas HAM juga memandang bahwa perlu adanya metode baru untuk diupayakan.

Pengungkapan kebenaran sebagai salah satu upaya penyelesaian dengan mempertimbangkan kekhasan dan karakteristik tiap kasus, menurut Sandra dapat menjadi salah satu jalan keluar. Dalam hal ini, tentunya pemerintah perlu membangun ruang konsensus yang melibatkan para pihak. Bagi Komnas HAM sendiri, hak korban adalah yang harus diutamakan.

“Selain itu, kami juga terus menyampaikan kepada presiden dan juga kepada Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam). Dalam konteks ini kami juga sempat mengusulkan memang pola penyelesaian lain, tetapi kami melihat bahwa hal itu tidak mesti diperlakukan untuk semua kasus,” ujar Sandra.

Menilik pilihan pertimbangan kebijakan sipil dan politik (sipol) pada level presiden dan rekonsiliasi, menurut Sandra perlu adanya kejelasan struktur dan kewenangan. Komnas HAM juga mendorong pilihan lain, yaitu soal kebijakan ekonomi sosial budaya (ekosob) dalam konsep keadilan transisional (transitional Justice). Keadilan transisional dipahami sebagai masalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang secara sistematis terjadi di masa lalu dalam proses demokratisasi yang diselesaikan melalui prosedur yudisial seperti lewat pengadilan di dalam negeri atau pengadilan internasional, maupun prosedur non-yudisial lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Namun, Komnas HAM juga memiliki catatan-catatan tersendiri atas pengadilan yang lalu tersebut.

“Kami melihat bahwa kita perlu melakukan revisi atas UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Hukum acara berbeda dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kualifikasi pembunuhan, penjelasan unsur sistematis atau meluas dan mekanisme pelindungan saksi yang efektif. Kita juga perlu menyusun opsi-opsi lain, selain pengadilan HAM sebagai jalan untuk memberikan keadilan bagi korban. Komnas HAM juga tetap proaktif atas gagasan pemerintah tentang Komisi Kebenaran agar memberikan keadilan pada korban,” tutur Sandra.

 

Penulis : Niken Sitoresmi. 

Editor: Rusman Widodo.

Short link