Kabar Latuharhary

Komnas HAM: Hukuman Mati Bukan Solusi Pemberantasan Korupsi


Latuharhary - Hak hidup adalah hak paling mendasar yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun yang dijamin oleh konstitusi. Di sisi lain, hukuman mati masih ada dalam hukum positif di Indonesia untuk mencegah dan menimbulkan efek jera bagi para pelaku tindak pidana, salah satunya bagi pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi yang mana pemberatannya adalah penerapan pidana mati.
“Padahal tidak ada korelasi antara penerapan hukuman mati dengan upaya pencegahan dan efek jera di dalam pemberantasan tindak korupsi,” ungkap Ketua Komnas HAM RI Ahmad Taufan Damanik ketika menjadi pembicara dalam Diskusi Daring bertajuk "Hukuman Mati untuk Koruptor: Apakah Tepat?" yang diselenggarakan oleh Imparsial bersama narasumber lain Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani, Juru Bicara KPK Ali Fikri, Koordinator ICW Adnan Topan Husodo, Peneliti Imparsial Amalia Suri dan dimoderatori oleh Peneliti Imparsial Gustika Jusuf (Jumat, 12/3/2021).
Taufan lantas menilai vonis hukuman mati bukan lah solusi yang tepat untuk memberantas korupsi, karena selain tidak cukup efektif mengatasi tindak pidana korupsi, juga bertentangan dengan norma hak asasi manusia. Menurut Taufan, Indonesia tidak saja dinilai dari seberapa kuat membangun sistem pencegahan dan penindakan terhadap praktek korupsi, tetapi juga akan dinilai seberapa jauh memiliki komitmen kepatuhan terhadap standar hak asasi manusia. 
Mengutip dari paparan ICW, skor Indeks korupsi (CPI) China tahun 2020, sebagai salah satu Negara yang gencar menerapkan hukuman mati bagi pelaku korupsi, tercatat di angka 42 dari skala 0-100 dimana nilai yang lebih tinggi merupakan indikator bahwa responden memberikan penilaian yang baik, sementara nilai rendah mengindikasikan bahwa responden menilai bahwa di daerahnya praktik korupsi masih tinggi, yang berarti praktik korupsi disana masih cukup tinggi. Sebaliknya, negara-negara terbaik  Indeks Persepsi Korupsinya (di antara angka 85-87) yakni Denmark, Selandia Baru, Finlandia, Singapore, Swedia dan Switzerland, (kecuali Singapore yang masih menerapkan hukuman mati namun bukan untuk tindak pidana korupsi), negara-negara tersebut sudah lama menghapuskan hukuman mati. Sementara negara-negara yang paling buruk Indeks Persepsi Korupsinya (di antara angka 10-14), yakni Korea Utara, Yaman, Sudan Selatan, Suriah dan Somalia, justru adalah negara yang menerapkan hukuman mati.  
“Komnas HAM sejak awal tidak sepakat dengan hukuman mati, karena bagi Komnas HAM hak untuk hidup merupakan hak absolut seorang manusia, dalam berbagai kajian PBB menyimpulkan tidak ada korelasi antara pemberantasan tindak pidana kejahatan dengan hukuman mati.  Meski dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pasal 6 ayat 2 masih membenarkan hukuman mati, namun hanya diterapkan kepada tindakan pidana paling serius (the most serious crimes) yakni pelanggaran HAM yang berat (gross violation of human rights) yakni genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi, dan tidak termasuk tindak pidana korupsi. Resolusi Dewan HAM PBB justru mendorong untuk menghapus hukuman mati. Saat ini tinggal sedikit saja negara yang masih menerapkan hukuman mati, di antaranya adalah negara kita Indonesia” jelas Taufan Damanik.
Di forum internasional Indonesia dinilai sudah menunjukkan langkah baik, ungkap Taufan, karena misalnya dalam RKUHP tidak lagi menempatkan hukuman mati sebagai pidana pokok, tetapi lebih sebagai pidana alternatif dan memberikan waktu 10 tahun masa review yang bila di masa itu terpidana mati dinilai berkelakuan baik, hikumannya bisa diturunkan menjadi pidana seumur hidup atau lebih ringan dari pidana awalnya. Tetapi dengan memunculkan lagi wacana hukuman mati kepada koruptor, Taufan prihatin, Indonesia kembali disorot internasional karena dinilai tidak patuh dan tidak memiliki komitmen yang kuat kepada hak asasi manusia.
Koordinator ICW Adnan Topan memandang bahwa tuntutan hukuman mati adalah refleksi rasa frustasi masyarakat atas upaya pemberantasan korupsi yang tidak berjalan efektif sehingga hukuman mati seakan menjadi jalan pintas menyelesaikan masalah korupsi yang mengakar. Lebih dalam Adnan menelisik bahwa korupsi merupakan gejala, daripada penyakit, dari ketidakberesan sistem di sektor pemerintah, privat dan masyarakat (symptomatic). “Menangani korupsi membutuhkan tiga pendekatan sekaligus penindakan, pencegahan dan pendidikan serta mengalihkan paradigma dari follow the suspect ke follow the money (asset recovery sebagai prioritas)” cermatnya.
“Tentu kita semua memiliki komitmen yang sama untuk pemberantasan korupsi terutama dalam praktik-praktik korupsi yang menyengsarakan masyarakat, jadi korupsi dana bansos itu sesuatu yang sangat kejam dan sangat tidak manusiawi, yang mengecewakan semua pihak. Tapi sekali lagi refleksi dari frustasi sosial tidak boleh dijawab dengan kefrustasian dalam mengambil kebijakan,” ungkap Taufan Damanik. 
Taufan Damanik lebih menekankan strategi pemberantasan korupsi yang efektif ketimbang mengedepankan hukuman mati sebagai ganjaran. Menurutnya pembenahan tata kelola secara masif dan bersifat sistemik dari akar permasalahannya dapat menjadi strategi pemberantasan korupsi. Kemudian dalam hal budaya korupsi yang jamak di masyarakat misalnya, dengan menggencarkan upaya mendidik kepatuhan terhadap hukum dari usia dini serta menerapkan clean government di level pemerintahan.
Juru bicara KPK, Ali Fikri, turut urun pendapat. Tuntutan pidana mati, disampaikan Ali Fikri, adalah sebagai pemberatan bukan menjadi pokok dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia menyampaikan bahwa prioritas bagi KPK adalah pendidikan dan pencegahan baru kemudian penindakan. Melalui upaya pencegahan tindak korupsi potensi kerugian Negara dapat diminimalkan serta melalui pendidikan anti korupsi dapat dibangun sistem yang lebih berintegritas. (AAP/ATD)

Short link