Kabar Latuharhary

Upaya Terpadu Komnas HAM dalam Pencegahan Penyiksaan

Latuharhary- Isu penyiksaan menjadi isu global yang semakin mendapatkan atensi dari banyak pihak di berbagai negara. Komnas HAM RI ikut berperan aktif dalam pencegahan penyiksaan. 

Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, ORI, serta LPSK telah mengembangkan program bersama pencegahan penyiksaan dalam Kerjasama Pencegahan Penyiksaan di Indonesia (KuPP) sejak 2016.  Program ini mengacu pada Protokol Opsional Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (OPCAT).

“Pemberantasan penyiksaan adalah suatu keharusan karena penyiksaan adalah serangan langsung terhadap peradaban dan kemanusiaan. Majelis Umum PBB menegaskan kembali bahwa penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat dilarang dan merupakan pelanggaran berat hak asasi manusia” tutur Koordinator KuPP Sandra Moniaga ketika mengawali webinar bertajuk “Global Disability Summit 2022” Side Event on Capacity Strengthening of Organizations of Persons with Psychosocial Disabilities, Rabu (16/2/2022).

Sandra dalam acara yang diselenggarakan oleh Transforming communities for Inclusion (TCI) bersama PAN African Network of Persons with Psychosocial Disabilities (PANPPD) dan the World Network of Users and Survivors of Psychiatry (WNUSP) mengulas kerja KuPP yang terfokus ke pencegahan dan dialog konstruktif. 

Strategi pencegahan yang dilakukan KuPP, antara lain: (1) Mengunjungi tempat-tempat penahanan; (2) Temuan fakta, membuat laporan berbasis bukti, dan menawarkan rekomendasi praktis; (3) Mengembangkan pemahaman umum tentang penyiksaan dan perlakuan buruk; (4) Mengembangkan kebiasaan kepercayaan, transparansi dan akuntabilitas, serta (5) Merevisi aturan dan regulasi jika perlu  
 
“Sebelum kunjungan dan misi pencarian fakta, kami mengembangkan pedoman pemantauan dan membuat kesepakatan dengan Kementerian/Lembaga Negara,” ujar Sandra.

KuPP juga memfokuskan pemantauan bersama di lembaga pemasyarakatan dan rumah detensi imigrasi di bawah Kementerian Hak Asasi Manusia dan Kehakiman, ruang Tahanan Polisi, ruang Penahanan Militer, serta tempat Kesehatan Mental atau Rumah Sosial. KuPP memasukkan pula tempat kesehatan mental atau rumah sosial dalam pekerjaan prioritas. 

“Kami menyadari bahwa situasi yang dihadapi oleh orang-orang di tempat-tempat kesehatan mental itu paling buruk atau mirip dengan 'lembaga pemasyarakatan' tanpa proses peradilan atau hukum lainnya. Lebih dari tiga ribu orang 'ditahan' dan beberapa di antaranya juga dibelenggu,” jelas Sandra. 

KuPP menggandeng Organisasi Penyandang Disabilitas, seperti Organisasi Kesehatan Jiwa Indonesia, Persatuan Wanita Disabilitas Indonesia dan organisasi sejenis lainnya untuk advokasi penyandang disabilitas psikososial.  KuPP juga melakukan diskusi publik yang melibatkan Menteri Sosial dan para anggota DPR.  

“Isu penyandang disabilitas psikososial di Indonesia tidak hanya terkait dengan masalah kesehatan dan sosial, tetapi juga terkait dengan masalah hak asasi manusia yang mendasar. Hal ini terkait dengan non derogable rights, yaitu hak yang pelanggarannya tidak dibenarkan dalam keadaan apapun, umumnya hak untuk hidup dan kebebasan dari penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, atau merendahkan martabat,”ulas Sandra.
 
Dalam kegiatan ini hadir pula narasumber lain, yaitu Yeni Rosa Damayanti-IMHA, Sylvester Katontoka-PANPPD, Robinah Alambuyah-WNUSP, Elizabeth Kamundia-KNCHR, Lu Han-OSF, Elizabeth Ombati-USP Kenya,Waqar Puri-TCI, serta Monthian Buntan Member of Senate Royal Thai Parliament. (SP/IW)
Short link