Kabar Latuharhary

Realita Hukuman Mati dari Perspektif HAM


Jakarta – Isu hukuman mati menjadi perhatian besar bagi Komnas HAM RI.


"Pada sidang paripurna tahun 2016 menetapkan sikap menolak hukuman mati karena berkaitan erat melanggar dua aspek hak asasi manusia, yaitu hak atas hidup dan hak untuk bebas dari penyiksaan dan tidak sesuai dengan prinsip hak asasi manusia, kemanusiaan dan Pancasila. Hak hidup dan hak untuk tidak disiksa merupakan hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam situasi apapun (non-derogable rights) dan hak konstitusional sesuai pasal 28 I UUD 1945," ujar Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM RI Sandra Moniaga saat menjadi pembicara dalam Kuliah Tamu HAM Universitas Parahyangan bertajuk Fenomena Hukuman Mati di Indonesia dari Perspektif Hukum dan Hak Asasi Manusia secara virtual (Sabtu, 28/5/2022). 


Sandra mencermati persepsi publik yang masih menganggap hukuman mati sebagai penghukuman paling efektif untuk memberikan efek jera (detterent effect) dan masih kuatnya fungsi pemidanaan yang menekankan pada aspek pembalasan (retributif). Padahal, menurutnya, penghukuman sebaiknya bersifat korektif atau perbaikan. 


Indonesia masih menerapkan hukuman mati dalam sistem peradilannya, setidaknya masih ada 30 jenis kejahatan yang dapat diancam hukuman mati. Dalam pasal 10 KUHP, hukuman mati tergolong ke dalam salah satu pidana pokok.


Kejahatan yang diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP terdapat dalam Pasal 104 KUHP makar membunuh kepala negara; Pasal 111 ayat 2 KUHP mengajak negara asing untuk menyerang Indonesia;  Pasal 124 ayat 3 KUHP memberikan pertolongan kepada musuh pada saat Indonesia dalam keadaan perang;  Pasal 140 ayat 4 KUHP membunuh kepala negara sahabat; Pasal 340 KUHP pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu; Pasal 365 ayat 4 KUHP pencurian dan kekerasan oleh dua orang atau lebih dan mengakibatkan seseorang mengalami luka berat atau mati.


Sedangkan di dalam perundang-undangan hukuman mati terdapat dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi; UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM; UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak, jo. UU No. 35 Tahun 2014 Perubahan Atas UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak; serta Beberapa pasal dalam UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga mengatur pidana mati. Pasal 118 dan Pasal 121 ayat 2 menyebutkan bahwa ancaman hukuman maksimal bagi pelanggar adalah pidana mati.


Hukuman mati juga berimplikasi pada persoalan lain. Seorang terpidana mati menunggu proses ekeskusi dalam waktu yang lama (sebagai death row) dengan kondisi tak menentu pun sudah merupakan bentuk penyiksaan. 


Sandra menggarisbawahi realitas sosial hukuman mati yang berisi kilas balik tiga kasus hukuman mati yang terjadi di Indonesia Kasus Marry Jane, Kasus Rodrigo Gularte, dan Kasus Poso dan mengungkapkan portret situasi para terpidana mati di Indonesia. Selain itu dijelaskan pula realita hukum tentang akar hukuman mati dalam legislasi di Indonesia serta prinsip HAM dan dampak Hukuman Mati pada Hak Asasi Manusia. 


Juan E. Mendez, Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia PBB tentang penyiksaan dan kekejaman lainnya (periode 2010-2016), telah membahas bahwa death row phenomenon menghasilkan perlakuan tidak manusiawi atau merendahkan sebagai akibat dari keadaan fisik dan konsekuensi dari mental kesedihan akibat lamanya masa tunggu pada eksekusi pidana mati.


Berdasarkan data dalam paparan Sandra mengutip data Kementerian Hukum dan HAM pada Tahun 2021, sampai Oktober 2021, terdapat 401 warga binaan terpidana mati,  yang rata-rata terkelompok berdasarkan waktu tunggu eksekusi sejak awal pemidanaan dengan rincian : di bawah 5 tahun sebanyak 230 orang; antara 5-10 tahun 107 orang; antara 10-19 tahun 62 orang; dan di atas 20 tahun itu ada 2 orang. 


Data ICJR per Januari 2022 disebutkan, terpidana yang menunggu eksekusi adalah terpidana narkotika sebanyak 260 orang; terpidana pembunuhan 118 orang; perampokan 9 orang; penyalahgunaan zat psikotropika 8 orang; teroris 5 orang; kasus pencurian 2; perlindungan anak 2 orang.


“Setiap orang punya martabat, hak asasi untuk mendapat perlindungan dan setiap orang juga sangat mungkin melakukan kesalahan namun ada peluang untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Disini ruang bagi Negara memberi penghukuman  bagi seseorang untuk memperbaiki dirinya,” kata Sandra di hadapan sekitar 220 peserta yang terdiri dari mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, akademisi dan pegawai Komnas HAM RI.  (AAP/IW)
Short link