Kabar Latuharhary

Expert Group Meeting: Komnas HAM Intervensi Isu Kekerasan Berbasis Gender di Tengah Krisis Iklim


Jakarta-Isu dampak krisis iklim, degradasi lingkungan, dan pengungsian terkait kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan mendapat perhatian dari kalangan pegiat HAM global.


Office of the High Commisioner for Human Rights (OHCHR) pun mengadakan Pertemuan Kelompok Ahli  daring, Expert Group Meeting (EGM) sesi Konsultasi Regional – Asia Selatan dan Asia Tenggara, Rabu (15/6/2022).

Pertemuan ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi tentang dampak krisis iklim. Lebih khusus lagi, untuk mengidentifikasi kelompok perempuan dan anak perempuan dalam semua keragaman yang sangat berisiko; hingga mencermati manifestasi yang berbeda dari faktor-faktor terkait krisis iklim yang mengarah pada kekerasan berbasis gender.

Para partisipan yang hadir, seperti akademisi, pakar HAM dan gender, kelompok masyarakat sipil, praktisi dan pemangku kepentingan lainnya ikut berbagi beragam praktik baik dalam menanggapi dan mitigasi krisis iklim, degradasi lingkungan dan partisipasi serta kepemimpinan perempuan dan anak perempuan. Penyelenggara memberikan kesempatan bagi masing-masing pembicara memberikan intervensi selama 10 menit dan dapat memberikan komentar berdurasi 3 menit.

 Sandrayati Moniaga, Komisioner Pengkajian Penelitian Komnas HAM hadir sebagai salah satu undangan didampingi Analis Kebijakan Ahli Muda Delsy Nike. 

Pelapor Khusus PBB tentang kekerasan terhadap perempuan Reem Alsalem melalui OHCHR secara khusus meminta Andy Yentriyani, Ketua Komnas Perempuan mempersiapkan paparan tentang “Manifestasi utama atau faktor pendukung yang meningkatkan risiko kekerasan dan pengalaman berbasis gender kekerasan berbasis gender terhadap perempuan dan anak perempuan berkaitan dengan krisis iklim, degradasi lingkungan dan perpindahan terkait.”

Hal yang sama dilakukan oleh Joan Carling, Direktur Global Indigenous Peoples Rights International (IPRI) yang mempersiapkan paparan tentang “Kelompok perempuan dan anak perempuan yang menghadapi risiko khusus kekerasan terkait krisis iklim, degradasi lingkungan dan migrasi” dan disampaikan oleh Joyce Godio. Seluruh paparan tadi akan dipresentasikan pada sesi ke-77 Sidang Umum PBB pada Oktober 2022.

Secara garis besar, laporan tersebut akan membahas tanggung jawab negara untuk mencegah, menghukum, dan memerangi kekerasan berbasis gender terhadap perempuan sehubungan dengan krisis iklim, degradasi lingkungan dan pengungsian yang sejalan dengan standar hak asasi manusia internasional.

 Tujuan laporan ini untuk mendorong pengumpulan data dan penelitian tentang hubungan antara krisis iklim, degradasi lingkungan, dan migrasi.

Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga turut memberikan apresiasi kepada Pelapor Khusus PBB Reem Alsalem atas perhatian dan identifikasi pada isu penting ini. 

 Sandrayati mengusulkan kepada Pelapor Khusus untuk mempertimbangkan aspek kerentanan ekosistem (ecosystem fragility) dalam laporan. 

Kerentanan ekosistem mencakup: (1) ekosistem dengan kerentanan alami seperti pulau-pulau kecil, kawasan kutub; (2) ekosistem dengan kerentanan yang diakibatkan oleh manusia seperti lahan-lahan yang rusak akibat pembabatan hutan, pertambangan terbuka, pencemaran; dan (3) ekosistem dengan kerentanan akibat industri pariwisata dan pembangunan yang tidak didasarkan prinsip-prinsip kelestarian lingkungan hidup.

Selain itu, Sandrayati juga mengusulkan agar unsur ketidaktanggapan pemerintah daerah sebagai salah satu faktor yang meningkatkan risiko kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak perempuan dalam krisis iklim dan degradasi lingkungan.

Di bagian akhir intervensinya, Sandrayati merekomendasikan agar seluruh aspek pemerintahan secara konsisten menyiapkan data dasar (baseline data) tentang kualitas dan risiko lingkungan. Data tersebut harus dapat diakses semua pihak, termasuk perempuan dan anak-anak perempuan di seluruh dunia. (IW/SM)
Short link