Kabar Latuharhary

Pengendalian Tembakau untuk Hak Atas Kesehatan Seluruh Warga

Kabar Latharhary - Dampak tembakau bagi hak asasi manusia terutama hak atas kesehatan tidak bisa disangkal. Tembakau telah menjadi epidemi, yang mana terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular yang pemicunya dari rokok. Hal ini tidak hanya menyebabkan anggaran negara yang tergerus untuk pembiayaan kesehatan masyarakat melalui BPJS, namun juga membahayakan anak-anak dan perempuan terutama ibu hamil, melanggar hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta mengerus ekonomi nasional, di mana impor lebih tinggi daripada ekspor.

Hal tersebut disampaikan Plt. Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM, Mimin Dwi Hartono, pada Webinar Hukum dan HAM Launching Policy Review Kebijakan Pengendalian Tembakau: Minus Standar HAM yang dilaksanakan oleh Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI) secara daring melalui Zoom Meeting, Selasa (28/06/2022). Hadir pula dalam diskusi, Betni H Purba - Direktur Instrumen HAM Kemenkumham, Jasra Putra - Komisioner KPAI, dan Benget Saragih Turnip - Direktorat Penyakit Tidak Menular, Kemenkes.

Amalia Suri, Program Director Emancipate ID yang memoderatori kegiatan Webinar menyampaikan Indonesia menjadi salah satu negara yang belum meratifikasi FCTC (Konvensi Kerangka Kerja untuk Pengendalian Tembakau). Oleh karena lemahnya regulasi tersebut, angka perokok muda di Indonesia sangat tinggi.

Senada dengan itu, Mimin, sapaan akrab Mimin Dwi Hartono menyampaikan bahwa Indonesia menjadi pasar global tertinggi untuk perdagangan rokok dan berdasarkan data BPS pada 2021, masyarakat Indonesia lebih banyak membelanjakan pendapatannya untuk rokok daripada kebutuhan pokok dan pangan yang bergizi.

Dalam kegiatan yang dilaksanakan pada hari tanpa tembakau sedunia tersebut, Gina Sabhrina, dari PBHI memaparkan hasil Policy Review Regulasi Pengendalian Tembakau: Minus Standar HAM. Berdasarkan studi yang dilakukan, melalui identifikasi, reviu, dan perbandingan peraturan pengendalian tembakau di Indonesia dengan standar HAM, PBHI mengidentifikasi bahwa pengaturan pengendalian tembakau dalam isu peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning), rokok elektrik, dan akses penjualan terhadap anak dan kaum marginal belum memenuhi standar HAM.

Dalam Policy Review pun diberikan rekomendasi kepada pemerintah, seperti merevisi Permenkes 56 Tahun 2017 dan PP Nomor 109 Tahun 2012 dengan peningkatan ukuran gambar PHW, mengkategorisasi rokok elektrik, dan TAPS Ban; reviu dan revisi Permenkes serta PP Nomor 109 Tahun 2012 untuk perubahan kemasan polos; peraturan spesifik di tingkat Menteri dan Kepala BPOM untuk akses penjualan, jumlah kandungan, PHW, penggunaan di dalam ruangan, TAPS Ban, dll; pengaturan larangan penjualan batangan, verifikasi pembeli; serta penguatan sanksi terhadap pelanggan.

Mimin kemudian menjelaskan bagaimana kerangka hukum hak asasi manusia merespon situasi yang terjadi melalui instrumen HAM internasional dan nasional. “Mengapa instrumen HAM internasional, salah satunya karena ini bentuk komitmen dan political will pada perjanjian internasional. Di mana negara-negara kemudian bersepakat pada perjanjian tertentu untuk kemudian bersama-sama merespon atau menangani isu hak asasi manusia yang menjadi permasalahan global. Seperti kita tahu rokok ini menjadi permasalahan global karena menjadi sebuah epidemi yang luar biasa,” jelasnya.

Terkait FCTC, Mimin mengungkapkan cukup memprihatinkan karena Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia dan salah satu dari 9 (sembilan) negara di dunia yang belum meratifikasinya. Masih ada beberapa kesalahpahaman tentang FCTC yang menimbulkan belum diratifikasinya FCTC, seperti akan membahayakan petani tembakau lokal karena menurunkan tingkat konsumsi tembakau, tidak berpihak pada kepentingan nasional, merupakan agenda negara barat dan mengurangi pemasukan negara dari ekspor tembakau.

“FCTC disahkan pada 2003 oleh WHO yang bertujuan untuk menekan konsumsi tembakau dari berbagai lini. Kita bisa lihat dari mana saja kemudian FCTC ini bisa mengendalikan konsumsi tembakau secara global, baik dari sisi demand ataupun supply,” ungkapnya.

Lebih lanjut, FCTC juga mendorong korporasi tembakau untuk memprioritaskan hak atas kesehatan daripada keuntungan komersial. “Hal ini yang menjadi penting kenapa FCTC perlu diperhatikan dan diratifikasi oleh pemerintah,” tegas Mimin.

Dalam instrumen HAM nasional, jelas disebutkan pada UUD RI Pasal 28 H yang menyebutkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Tidak hanya itu, hak atas kesehatan yang menjadi prioritas juga dijelaskan pada UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.


Komnas HAM telah mengesahkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) Nomor 4 tentang Hak Atas Kesehatan. Hak atas Kesehatan tidak hanya dimaknai sebagai hak setiap orang untuk menjadi sehat atau untuk terbebas dari penyakit. Namun, hak atas kesehatan merupakan hak untuk mendapatkan dan menikmati standar kesehatan tertinggi yang dapat dicapai bagi setiap orang, yang mana dalam hal ini untuk dapat terbebas dari asap rokok.

Dalam SNP Hak atas Kesehatan disebutkan setidaknya ada 5 (lima) indikator pemenuhan hak atas kesehatan, yaitu ketersediaan (availability), aksesibilitas (accesibility), keterjangkauan (affordability), keberterimaan (acceptability), dan kualitas (quality). “Perlu dilihat kembali apakah 5 (lima) indikator ini sudah terpenuhi atau belum dalam konteks regulasi yang ada. Jika belum, maka ini menjadi salah satu hal yang penting sehingga bisa dielaborasi bagaimana dengan aspek-aspek ini ke depan agar bisa dipenuhi pemerintah,” terang Mimin.

Di akhir sesi, Mimin menyampaikan peran Komnas HAM dalam kaitannya dengan pengendalian tembakau ini. Komnas HAM sejak 2012 telah melakukan pengkajian dan penelitian untuk memberikan rekomendasi kebijakan kepada pemerintah dan DPR agar meratifikasi FCTC. Komnas HAM juga melakukan monitoring atas kebijakan dan regulasi nasional untuk mengendalikan produk dari tembakau secara maksimal.

Lebih dari itu, sesuai wewenangnya, Komnas HAM telah melakukan pendidikan dan penyuluhan untuk meningkatkan partisipasi dan pemberdayaan kelompok rentan dalam membela dan melindungi haknya dari bahaya produk tembakau serta meningkatkan kesadaran publik supaya memiliki pengetahuan dalam mengendalikan produk dari tembakau. Komnas HAM juga terus mendorong akuntabilitas korporasi di antaranya melalui Ruggie Principles tentang Bisnis dan HAM (protect, respect, dan remedy).

“Kami juga terus melakukan diseminasi supaya SNP ini menjadi panduan bagi pemerintah dan kementerian dalam melakukan kewajibannya dalam menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kesehatan. Termasuk melakukan advokasi atas dampak-dampak dari asap rokok dan penggunaan tembakau yang membahayakan kesehatan,” pungkas Mimin.

 

Penulis : Utari Putri Wardanti

Editor : Sri Rahayu

Short link