Kabar Latuharhary

Jalan Pembuktian Kasus Pembunuhan Munir ke Unsur Pelanggaran HAM yang Berat


Jakarta – Penyelesaian kasus pembunuhan terhadap pembela hak asasi manusia Munir Said Thalib yang terjadi pada 2004 masih menjadi pro kontra di kalangan aktivis. Pembuktian terjadinya pembunuhan sistematis yang mengarah ke pelanggaran HAM yang berat terus dilakukan oleh Komnas HAM.


“Sistematis bisa ditunjukkan dengan melihat pola kejahatan, sasarannya, fasilitas yang digunakan dan lain sebagainya. Dengan melihat hal-hal itu, bisa terlihat apakah sistematis ataukah tidak. Kemudian untuk unsur meluas, salah satu yang paling gampang melihat sebaran korban banyak dan sebaran wilayah korban banyak,” jelas

Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM RI M. Choirul Anam dalam dialog publik  Progresive Talks bertajuk Menggugat Kegagalan Negara: Babak Akhir Utopia Penuntasan Kasus Munir yang diselenggarakan oleh Bidang Hukum, Sosial, dan Politik (HSP) Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro 2022, Minggu (11/9/2022). 


Anam melihat ada indikasi memenuhi syarat sistematis. “Pembunuhan Cak Munir menggunakan instrumen yang digunakan Negara. Sistematisnya kelihatan dengan instrumen dan fasilitas Negara yang pada saat itu digunakan. Apakah ada perintah ataukah tidak? Memang belum ditemukan rekam jejak soal ada perintah, tapi polanya menunjukkan bahwa ada pola yang menggunakan fasilitas Negara, ada pola yang menggunakan instrumen Negara. Oleh karenanya, hal itu memungkinkan untuk disebut sebagai upaya sistematis,” paparnya.


Terkait unsur penduduk sipil, syarat ini menurut Anam jelas bahwa Munir sebagai penduduk sipil dengan identitas pembela hak asasi manusia.


Berkaca dari pengalaman panjang Komnas HAM RI menangani kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat, korbannya selalu dalam jumlah banyak.

Dalam konteks kasus Munir, Anam menilai dimungkinkan tetap memenuhi unsur pelanggaran HAM yang berat meski ada berbagai perdebatan standar. Anam yakin bahwa walaupun jumlah korban hanya satu orang, namun jika memenuhi unsur sistematis, meluas, tetap bisa dibawa ke pengadilan hak asasi manusia.


Terkait perdebatan mengenai daluwarsa kasus, menurut Anam, tidak berlaku jika terbukti pelanggaran HAM yang berat. Hal ini merunut logika peristiwa yang terjadi pada suatu rezim sebagian besar tak dapat diadili saat rezim itu masih berkuasa.


Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Fatia Maulidiyanti mendukung pemikiran bahwa dalam pelanggaran hak asasi manusia memiliki prinsip “one is too many”. Kuantitas tidak menjadi konsep utama untuk menetapkan suatu pelanggaran HAM merupakan pelanggaran HAM yang berat. 


“Tidak melulu soal angka. Ketika ada satu orang yang dihilangkan secara paksa atau dibunuh oleh Negara itu sudah bisa masuk dalam kejahatan atas kemanusiaan, kita harus melihat unsur-unsur dan elemen lain,” ujar Fatia.


Sebelumnya,  Sidang Paripurna Khusus Komnas HAM RI pada Jumat, 12 Agustus 2022 memutuskan membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang Berat untuk Peristiwa Pembunuhan Munir Said Thalib berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menindaklanjuti hal tersebut, dalam Sidang Paripurna Komnas HAM RI pada Selasa, 6 September 2022 telah diputuskan pembentukan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat untuk Peristiwa Pembunuhan Munir Said Thalib berdasarkan Undang-Undang 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang beranggotakan Anggota Komnas HAM RI dan beberapa tokoh masyarakat. Tim ini akan melakukan penyelidikan dan akan menyimpulkan apakah ditemukan atau tidaknya pelanggaran HAM yang berat dalam kasus ini. (AAP/IW)
Short link