Kabar Latuharhary

Membuka Mata Publik atas Penegakan HAM Peristiwa Pelanggaran HAM yang Berat

Jakarta-Penegakan HAM atas peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Indonesia dapat diwujudkan ke dalam berbagai medium agar menjadi perhatian utama publik.


Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menyampaikan terdapat belasan kasus pelanggaran HAM yang berat yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM. "Dari belasan kasus yang diselidiki tersebut hanya empat kasus yang sudah dibawa ke pengadilan," ucapnya saat menjadi keynote speaker Diskusi Buku Seri Perempuan Penyintas 1965: "Potret Penyintasan Perempuan-Hidup Dengan Pil Pahit Sejarah" yang diselenggarakan di Aula PDS HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (20/12/2022).


Keempat peristiwa tersebut, yaitu Timor-Timur,  Tanjung Priok, Abepura dan yang terakhir Paniai. Dari keempat peristiwa tersebut, para pelakunya dinyatakan bebas. Sedangkan peristiwa pelanggaran HAM yang berat yang belum beranjak statusnya, antara lain Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius tahun 1982-1985, Peristiwa Talangsari 89, Peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, Peristiwa Rumah Geudong 1989-1998, dan Kasus Paniai 2014.


"Hasil penyelidikan yang sudah melalui proses pengadilan maupun yang belum sama-sama belum memberikan keadilan bagi para korban. Yang kasusnya sudah diadili tidak ada satupun keputusan untuk memberikan pemulihan bagi korban," terang Atnike.


Negara, menurut Atnike, harus tetap mengakui status korban. "Terlepas tidak adanya proses hukum maupun adanya proses hukum hal ini bisa dilakukan misalnya melalui penyelidikan atau investigasi baik untuk kepentingan hukum maupun pengungkapan kebenaran," ujar Atnike. 


Pengakuan dan upaya pemulihan dari negara merupakan hal yang sangat penting bagi para korban pelanggaran HAM yang berat, termasuk korban peristiwa 1965. Bentuk pengakuan terhadap para korban dapat direpresentasikan melalui media karya seni untuk menggambarkan peristiwa pelanggaran HAM yang berat. "Novel, biografi, film, musik dan karya populer lain merupakan karya yang justru memberi inspirasi bagi masyarakat ketimbang laporan-laporan pengadilan atau putusan pengadilan," ucapnya.


Melalui berbagai karya, salah satunya lewat buku, secara lugas menjelaskan dampak pelanggaran HAM yang berat. Efeknya bakal berlipat ganda dirasakan bukan hanya oleh korban, tetapi juga keluarga korban dan masyarakat.(AM/IW)
Short link