Kabar Latuharhary

Memahami Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Lewat Strategi Kolaborasi

Latuharhary – Pemahaman atas hak kebebasan beragama dan berkeyakinan di tengah masyarakat masih membutuhkan pendalaman. Untuk itu, perlu strategi pemberdayaan melalui pendidikan, pengkajian dan kolaborasi bersama para aktor kunci yang berperan besar dalam toleransi beragama serta penghargaan terhadaap keberagaman.

“Komnas HAM RI memandang perlu bersinergi dengan berbagai pihak baik institusi, individu, atau aktor-aktor yang memiliki pengaruh dalam mendorong moderasi dan toleransi beragama di masyarakat,” ungkap Ketua Komnas HAM RI Atnike Nova Sigiro dalam peluncuran program INKLUSI bertema Pemberdayaan Kepemimpinan untuk Menguatkan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan dan Ketahanan Masyarakat di Sektor Kunci Strategis bagi Media Massa, BUMN, Pemerintah Lokal, Pendidikan, Kepemimpinan Perempuan, dan Media Sosial yang diselenggarakan INFID di Gran Melia, Jakarta, Kamis (26/1/2023).

Berbicara soal kepemimpinan di sektor kunci, menurut Atnike, kedepannya perlu lebih banyak sosialisasi dan diseminasi bagi pemerintah daerah dengan mengusung agenda kebebasan beragama dan berkeyakinan di tingkat Kabupaten/Kota.



“Salah satu upaya yang telah dan terus akan dilakukan Komnas HAM RI untuk pemajuan hak asasi manusia adalah dengan menyusun Standar Norma dan Pengaturan (SNP). Untuk kebebasan beragama dan berkeyakinan, Komnas HAM sejak tahun 2020 menghasilkan SNP Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan serta melakukan publikasi, pelatihan dan pendidikan publik,” jelas Atnike.

SNP Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan merupakan penjelasan dan elaborasi prinsip-prinsip hak asasi manusia yang tercantum dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia internasional maupun yang sudah dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kegunaan SNP bagi penyelenggara negara sebagai panduan agar kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak membatasi atau melanggar hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. 
Sedangkan bagi individu maupun kelompok di masyarakat, pemahaman mengenai dimensi dan pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan, termasuk mengerti bahwa individu memiliki hak untuk menjalankan kebebasan beragama.  

“SNP juga diharapkan menjadi pedoman aktor non negara atau sektor swasta misalnya untuk memastikan bahwa kebebasan beragama dalam ruang lingkup wilayah kerja atau otoritasnya dapat melindungi kebebasan beragama,” jelas Atnike.

Narasumber lain dalam diskusi ini, Prof. Dr. Abdul Mu'ti, M.Ed., (Sekretaris Jenderal PP Muhammadiyah), Prof. Dr. Ahmad Zainul Hamdi, M.Ag., (Direktur Pendidikan Tinggi Islam Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama), dan Ika Ningtyas (Sekretaris Jenderal AJI).

Peluncuran program ini dihadiri pula Maresa Oosterman (Head of Political Affairs, Embassy of The Kingdom of The Netherlands), Gabriella Scholten (Senior Policy Officer, Asia and Oceania Department, Ministry of Foreign Affairs), Khairani Arifin (Ketua Dewan Pengurus INFID), dan perwakilan Maarif Institute, Perkumpulan Media Link, PW Fatayat NU Jawa Barat, PW Fatayat NU Jawa Timur, Setara Institute, UNIKA Soegijapranata dan Yayasan Inklusif. (AAP/IW)

Short link