Opini

Menanti Polisi Humanis

Oleh: Wahyu Pratama Tamba (Staf Pemantauan Komnas HAM)

Polri adalah aparatur negara yang bertugas untuk melakukan penegakan hukum dan memelihara ketertiban dan keamanan masyarakat. Namun adanya kontradiksi antara penegakan hukum dengan pemeliharaan ketertiban dan keamanan masyarakat tidak luput menjadi perhatian publik.

Hal itu didasari oleh fakta ketidakprofesionalan kinerja oknum anggota Polri misalnya tindakan penyiksaan, kesewenang-wenangan proses hukum, dan arogansi. Reformasi Polri dimulai sejak 1 April 1999, dengan resmi berpisah dari institusi TNI (ABRI saat itu). Pemisahan dimaksudkan agar Polri tidak berwajah dan bermental militeristik.

Tahun demi tahun Polri membenahi diri diberbagai aspek, misalnya aturan kelembagaan dan keanggotaan, anggaran, sarana dan prasarana. Diharapkan dengan adanya pembenahan diri dapat memberikan kesan dan pesan kepada masyarakat bahwa Polri sebagai pelindung dan pengayom masyarakat untuk menjaga ketertiban dan keamanan. 

Penegakan hukum merupakan salah satu upaya Polri demi terciptanya ketertiban dan keamanan di tengah kehidupan masyarakat. Tujuh belas tahun setelah berpisah dari TNI, Kepolisian menghadapi tantangan agar penegakan hukum lebih profesional.

Tentu masyarakat sejatinya adalah pihak yang akan menikmati profesionalisme kerja Polri. Pencapaian kepercayaan publik yang tinggi dapat diyakini merupakan suatu kepuasan segenap anggota Polri.

Merujuk pada survei Indo Barometer yang dilansir dari Kompas.Com (8 Oktober 2015, Survei: Kepercayaan Publik terhadap Kepolisian dan Kejaksaan Rendah), tercatat tingkat kepercayaan publik terhadap Polri hanya 56,6 persen dan 34, 5 persen tidak percaya Kepolisian.

Ambivalensi Penegakan Hukum

Penegakan hukum yang dijalankan Polri bertujuan untuk mewujudkan ketertiban dan keamanan masyarakat. Prosedur pelaksanaan tugas menjadi urgen, karena apabila bertindak diluar prosedur Kepolisian menjadi aktor penyebab ketidak tertiban dan kekacauan kehidupan masyarakat.

Kemampuan Polisi dalam mengungkap kasus, ketepatan dan kepastian waktu penanganan kasus dan kehadiran Polisi dalam pengendalian massa dapat memberikan ketenangan bagi masyarakat.

Harapan masyarakat akan kehidupan yang aman dan tentram bertumpu pada segenap anggota Polri. Kondisi sebaliknya, penegakan hukum yang tidak profesional berakibat pada keresahan hidup masyarakat dan rendahnya kepercayaan publik pada kinerja Kepolisian.

Gejala yang timbul sebagai akibat rendahnya kepercayaan publik antara lain tindakan masyarakat dengan menyelesaikan permasalahan tanpa melibatkan aparat Kepolisian, tindakan kekerasan terhadap anggota Polri dan perusakan aset Polri.

Sinergitas Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia

Polri sebagai aparat penegak hukum berkewajiban untuk menjunjung hak asasi manusia dalam penegakan hukum. Artinya, penegakan hukum dapat berjalan beriringan dengan penegakan hak asasi manusia.

Sinergitas penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia telah dibuktikan Polri dengan adanya atensi terhadap nilai dan prinsip hak asasi manusia melalui Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Di dalam Pasal 1 poin (7) secara tegas menyatakan pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan/ atau mencabut HAM seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

Merujuk pada data pengaduan Komnas HAM pada periode Mei 2015-Mei 2016 terkait dugaan penyiksaan, tercatat 135 berkas aduan pelanggaran Hak Asasi Manusia meliputi hak untuk hidup 36 berkas aduan, hak memperoleh keadilan (18) dan hak atas rasa aman (81).

Aduan masyarakat terkait dugaan penyiksaan cukup dominan yaitu sebanyak 79 aduan, menyusul terkait mempertahankan hidup 36 aduan dan sebanyak 17 aduan terkait kesewenang-wenangan proses hukum di Kepolisian/ Militer/ PPNS.

Tindakan penyiksaan disebut sebagai pelanggaran HAM karena setiap warga negara dilindungi dan bebas dari tindakan penyiksaan. Dunia Internasional menyepakati Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (The United Nation Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment).

Selanjutnya pada Pasal 33 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menjamin Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya. Ayat (2) menyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk bebas dari penghilangan paksa dan penghilangan nyawa.

Pemerintah Indonesia menunjukkan kesungguhan upaya perlindungan HAM khususnya hak bebas dari tindakan penyiksaan yakni dengan meratifikasi Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia (The United Nation Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998.

Selaku aparatur Pemerintah Indonesia, Kepolisian berkewajiban untuk komit atas penghormatan HAM setiap warga negara. Program Promoter (Profesional, Modern dan Terpercaya) menjadi penanda era kepemimpinan Kapolri saat ini, untuk mewujudkan program tersebut, salah satu misinya dengan mewujudkan penegakan hukum yang profesional, berkeadilan, menjunjung tinggi HAM dan anti KKN.

Meraih tingkat kepercayaan publik yang lebih tinggi dengan Program Promoter perlu komitmen dari segenap anggota Polri mulai dari Pusat hingga ke daerah, dari pangkat tertinggi hingga terendah. Menjelang masuk ke Tahun 2017, Polisi di kota maupun di desa harus memiliki visi yang sama yaitu dengan mengedepankan kinerja yang humanis, sebagai bukti adanya sinergitas penegakan hukum dan hak asasi manusia.