Opini

Pemenuhan Hak Pencari Keadilan (Refleksi 2016)

Oleh: Wahyu Pratama Tamba

(Staf Pemantau Komnas HAM)

Laporan data pengaduan Komnas HAM RI dapat menjadi bahan perenungan sejauh mana hak asasi manusia telah dilindungi oleh negara. Dua klasifikasi hak yang banyak diadukan ke Komnas HAM yaitu Hak Memperoleh Keadilan dan Hak atas Kesejahteraan. Dalam kurun waktu Januari-November 2016, klasifikasi hak yang diadukan masyarakat adalah Atas Kesejahteraan (2.597 berkas) dan Hak Memperoleh Keadilan (2.539 berkas).

Turunan Hak Memperoleh Keadilan dikategorisasikan menjadi (4) jenis yaitu kesewenang-wenangan proses hukum di Kepolisian/ Militer/ PPNS, kesewenang-wenangan proses hukum di Kejaksaan, Kesewenang-wenangan proses hukum di Peradilan, dan Kesewenang-wenangan proses hukum hak warga binaan/ narapidana.


Kategori kesewenang-wenangan proses hukum di Kepolisian/ Militer/ PPNS begitu dominan, setidaknya tercatat 1.917 berkas aduan terkait dengan kinerja pihak Kepolisian sebagai salah satu Aparat Penegak Hukum.


Tidak terpenuhinya hak warga negara atas keadilan menjadi pertanda bahwa hak asasi manusia di Indonesia masih diabaikan, justru oleh aparaturnya sendiri. Padahal, Negara memberikan mandat kepada Pemerintah agar berkontribusi dalam rangka penegakan HAM di Republik Indonesia, artinya, aparatur Pemerintah wajib berkontribusi dalam peran dan tanggung jawabnya masing-masing.


Pasal 8 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah”. Begitu pun Pasal 71 dan Pasal 72 menitik beratkan kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia, pada bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.


Kepolisian sebagai institusi pemerintah berperan dalam penegakan hukum nasional, untuk itu patut disadari bahwa seluruh anggota Polri berkewajiban dan bertanggung jawab dalam penegakan HAM di Indonesia. Implementasi kontribusi Polri dalam penegakan HAM dapat dan harus ditunjukkan melalui tugas dan kewenangan yang diemban.


Dinamika Para Pencari Keadilan


Bentuk dugaan kesewenang-wenangan oknum anggota Kepolisian yang dialami masyarakat pencari keadilan seperti: penanganan kasus lamban, kriminalisasi, penyiksaan, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, pembiaran, diskriminasi dan pemerasan.
Mandat kewenangan yang dimiliki Kepolisian dalam penanganan kasus pidana dimaksudkan untuk mewujudkan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Lambatnya penanganan kasus disebabkan inkonsistensi penerapan pengawasan dan sanksi atas kinerja Penyidik Kepolisian.

Akibatnya, berbagai tindakan di luar prosedur kerap terjadi misalnya formalisasi administrasi sekedar menyampaikan Surat Pemberitahuan Penanganan Hasil Penyidikan kepada Pelapor, Diskriminasi perlakuan terhadap Pelapor berdasarkan latar belakang dan bahkan tidak menutup kemungkinan adanya pertukaran antara uang dari Pelapor untuk jasa penanganan kasus kepada Polisi.


Inovasi dalam Sistem Penanganan Kasus


Kehadiran sekaligus keberadaan Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana harus dapat digunakan secara konsisten. Sesuai dengan tujuannya, yaitu Pertama, digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan manajemen penyidikan tindak pidana di lingkungan Polri; Kedua, terselenggaranya manajemen penyidikan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan pengendalian secara efektif dan efisien; Ketiga, sebagai evaluasi penilaian kinerja penyidik dalam proses penyidikan tindak pidana guna terwujudnya tertib administrasi penyidikan dan kepastian hukum.


Konsistensi segenap korps Bhayangkara dapat terlaksana dengan didukung reward dan punishment atas kinerja Penyidik. Adapun perbaikan sistem pada dasarnya dapat diterapkan secara perlahan, misal dengan inovasi berbasis teknologi dan informasi. Pemberlakuan sistem online dalam pengurusan SIM, Tilang dan Pelaporan telah menampilkan citra Kepolisian yang lebih maju dan positif.


Menyoal lambannya penanganan kasus, pengambil kebijakan dalam hal ini pimpinan Polri, tidak boleh membiarkan persoalan tersebut berlanjut, oleh karenanya Kapolri harus mendorong jajarannya dalam penerapan teknologi informasi. Hal itu dimaksudkan agar dapat memonitor perkembangan setiap kasus yang ditangani penyidik, bahkan masyarakat pun khususnya Pelapor dapat mengakses informasi tersebut. 


Ke depannya diharapkan tidak terjadi lagi lamban atau mangkraknya penanganan kasus di Kepolisian. Berdasarkan publikasi hasil penelitian LBH Jakarta dengan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) 21 Juli 2016, tercatat sepanjang tahun 2012-2014 pelaporan perkara kepada pihak Kepolisian sebanyak 1.114.108, perkara yang diproses sebanyak 645.780. Perkara yang diterbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) sebanyak 386.766, diduga perkara mengendap sebanyak 255.618 dan hilang sebanyak 44.273 perkara.

Angka yang ditampilkan LBH Jakarta dengan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) sudah dapat dijadikan acuan dan tolak ukur Polri untuk mengkoreksi dirinya, khususnya dalam penanganan kasus pidana. Mangkraknya kasus dan kelambanan penanganan kasus berakibat pada ketidak pastian hukum masyarakat. Hak untuk memperoleh keadilan lewat proses hukum yang diawali Penyidik Kepolisian akhirnya terabaikan. Masyarakat selaku pencari keadilan harus menanti lama dan bahkan dalam situasi ketidak pastian, baik status dalam proses hukum maupun kepastian waktu.

Penegakan HAM melalui Pemenuhan Hak Memperoleh Keadilan


Catatan kondisi HAM di Indonesia tidak terlepas dari seberapa besar jaminan dan komitmen negara dalam pemenuhan hak keadilan masyarakat. Fakta yang terjadi menggambarkan kondisi pemenuhan hak atas keadilan masih jauh dari harapan.
Fakta itu ditunjukkan oleh data aduan masyarakat pencari keadilan di Komnas HAM RI sebesar 2.539 berkas. Untuk itu, dibutuhkan koreksi internal Kepolisian sebagai Aparat Penegakan Hukum sehingga Kepolisian menjadi pihak yang paling berkontribusi dalam penegakan HAM di Indonesia.

Pelaksanaan koreksi secara komprehensif berguna agar fokus tidak sekedar menyoal hal administrasi teknis dan justru mengaburkan substansi. Upaya masyarakat mencari keadilan tentu karena adanya jaminan Negara di dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 D ayat (1), “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di dalam Pasal 3 ayat (2)  bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum”.