Opini

Menanti Komnas HAM Reborn

Kemala Atmojo
Peminat Masalah HAM

Pendaftaran calon komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia periode 2017-2022 telah dibuka pada Desember 2016. Penjaringan ini diharapkan bisa mendapatkan calon yang berintegritas, berani, dan memiliki pengetahuan akademis yang cukup di bidang hak asasi manusia (HAM). Mengapa demikian?

Di lingkup internal, Komnas HAM periode 2012-2017 diguncang dua isu penting. Pertama, keributan mengenai masa kerja ketua. Pada Februari 2013, rapat paripurna mengubah masa jabatan ketua yang semula digilir setiap 2,5 tahun menjadi 1 tahun sekali. Kedua, pada Juni lalu, Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan disclaimer atas laporan keuangan Komisi. Hal itu antara lain karena adanya dugaan penyelewengan dana realisasi belanja barang dan jasa serta biaya sewa rumah dinas salah seorang komisioner pada 2015 yang tidak sesuai dengan ketentuan. Kedua peristiwa itu sesungguhnya cukup memalukan.

Kritik lain yang muncul adalah Komnas HAM dianggap tidak mampu menyediakan data akurat mengenai diskriminasi terhadap beberapa kelompok, seperti kelompok agama tertentu, penyandang cacat, anak-anak dan perempuan, serta komunitas LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender). Minimnya data berkualitas atas pelayanan hak asasi manusia menyebabkan laporan Komisi dan pemerintah dipertanyakan dalam forum internasional.

Presiden Joko Widodo sebenarnya telah berulang kali menyatakan dukungannya terhadap penegakan HAM di Indonesia. Dalam pidato kenegaraan di depan Sidang Bersama Dewan Perwakilan Rakyat RI dan Dewan Perwakilan Daerah RI, 16 Agustus 2016, Presiden mengatakan: "Bangsa ini tidak akan produktif, tidak akan maju, tidak akan menjadi bangsa pemenang apabila tidak menghargai hak asasi manusia dan terus didera gonjang-ganjing politik. Energi kita sebagai bangsa akan habis untuk meredakan keriuhan politik daripada melakukan lompatan-lompatan kemajuan."

Terakhir, dalam acara makan malam di Istana Negara bersama komisioner dan penasehat Komisi, 9 Desember 2016, Presiden mengatakan bahwa pemerintah akan melakukan upaya sistematis melalui pembentukan tim khusus untuk membendung ideologi kekerasan, radikalisme, fundamentalisme, dan virus-virus kekerasan yang mulai menyebar ke sejumlah lini kehidupan bangsa.

Namun, seperti yang pernah saya tulis di Koran Tempo sebelumnya, secara substansial Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak cukup menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan fungsi, tugas, dan wewenang Komnas HAM. Masih banyak kelemahan dalam undang-undang ini sehingga peran penting Komisi tidak cukup mendapat tempat. Karena itu, komisioner mendatang harus mendorong agar pembahasan rancangan undang-undang khusus mengenai Komnas HAM dapat dilanjutkan.

Kemajuan teknologi, khususnya Internet dengan media sosialnya, tak hanya mendemokratisasi kesempatan dan gagasan, tapi juga rawan dimanfaatkan kepentingan-kepentingan tertentu yang dapat merugikan kemanusiaan. Rumpi-rumpi digital dapat mempertajam sentimen primordial sehingga merusak fondasi kebinekaan yang menjadi ciri bangsa Indonesia. Akibatnya, politik identitas menguat dan intoleransi meningkat.

Dalam situasi semacam ini, Komnas HAM, sesuai dengan tugas dan wewenangnya, secara sistematis dan berkelanjutan harus meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi manusia. Hal itu dapat dilakukan, antara lain, dengan menerbitkan buku-buku yang mudah dipahami mengenai HAM dan dibagikan ke sekolah-sekolah. Dengan demikian, sejak dini generasi muda kita sudah mengenal pentingnya HAM bagi kemanusiaan dan bangsa Indonesia yang majemuk. Upaya ini pada akhirnya akan membentuk budaya masyarakat yang menghargai hukum dan HAM. Komisi juga secara intensif perlu melakukan sosialisasi mengenai aneka dimensi HAM kepada pihak-pihak yang berpotensi melanggarnya.

Adapun untuk penanganan kasus-kasus yang sedang terjadi, peranan Komisi dalam melakukan mediasi sangat penting ditingkatkan. Cara ini lebih efektif dan efisien ketimbang cara-cara lain yang menimbulkan kegaduhan dan pada akhirnya merugikan proses pembangunan nasional, termasuk pembangunan hak asasi manusia.

Tentu saja perhatian lebih terhadap dua hal di atas tidak berarti Komisi melupakan tugas-tugas lainnya seperti yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Misalnya, bersama lembaga-lembaga terkait, Komisi dapat berperan aktif dalam upaya menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang hingga saat ini belum diselesaikan. Komisi juga terus melakukan kajian dan penelitian tentang aneka peraturan perundang-undangan yang berpotensi memicu terjadinya pelanggaran HAM. Kita nantikan komisioner yang mampu merevitalisasi Komnas HAM.

(Artikel ini dimuat di Koran Tempo edisi 2 Januari 2017)