Kantor Perwakilan

PEMENUHAN HAM MELALUI PENDIDIKAN INKLUSIF

Banda Aceh – Selasa, 18 Oktober 2022 Subkoordinator Layanan Fungsi Penegakan HAM, Mulia Robby Manurung didampingi Analis Pelanggaran HAM, Sri Mauliani dan Pemantau Aktivitas HAM, Eka Azmiyadi memenuhi permohonan wawancara penelitian  Rahmat Kurniawan, S. Pd., Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam rangka penyelesaian tugas akhir/Tesis Magister (S2). Rahmat meneliti penerapan  pendidikan inklusif pada beberapa perguruan tinggi keagamaan di Provinsi Aceh.


Penelitian ini berangkat dari kegelisahan Rahmat atas minimnya penyandang disabilitas yang melanjutkan studi hingga perguruan tinggi dan situasi perguruan tinggi di Indonesia yang rata-rata tidak ramah disabilitas. Padahal hak akan pendidikan adalah hak bagi setiap orang, tidak terkecuali bagi penyandang disabilitas. Selain itu, Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 46 Tahun 2017 tentang Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus di Perguruan Tinggi telah menjamin diperluasnya akses pendidikan bagi mahasiswa berkebutuhan khusus.


Selanjutnya Mulia mengatakan bahwa pendidikan merupakan hak dasar warga negara yang harus dipenuhi oleh negara dalam hal ini pemerintah. Pendidikan seharusnya diselenggarakan secara demokratis, adil, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.


Pendidikan inklusif merupakan bentuk tanggung jawab pemerintah dalam memenuhi dan menghormati hak asasi manusia, Penerapan pendidikan inklusif merupakan kewajiban negara untuk menjamin setiap warga negaranya termasuk penyandang disabilitas mendapatkan pendidikan yang setara. “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Serta warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus,” kata Mulia.



Pada dasarnya Komnas HAM mendorong pendidikan inklusi diterapkan di setiap jenjang pendidikan untuk menjamin setiap warga negara mendapatkan hak atas pendidikan sesuai dengan bakat dan minat yang seluas-luasnya. Penerapan pendidikan inklusi juga mendorong setiap lembaga pendidikan untuk berbenah dengan menyediakan sarana prasarana pendukung serta mengubah mindset pendidik terhadap peserta didik berkebutuhan khusus dimana pendidik lebih peduli dan mengakui bahwa peserta didik berkebutuhan khusus juga memiliki kelebihan dan kemampuan seperti peserta didik lainnya.


Lebih lanjut, Sri Mauliani menambahkan bahwa semua manusia pada dasarnya mempunyai bakat dalam dirinya, melihat dari kondisi saat ini memang sangat jarang ditemukan adanya mahasiswa penyandang disabilitas melanjutkan Pendidikannya ke perguruan tinggi dan hanya sampai pada tahap Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB). Struktur kurikulum SLB yang jauh berbeda dengan perguruan tinggi, dimana SLB sangat menyesuaikan kebutuhan anak berkebutuhan khusus yang bertujuan untuk membantu anak memaksimalkan bakat yang dimilikinya dan mengatasi keterbatasannya.


Diakhir pertemuan, Eka Azmiyadi memberikan saran kepada peneliti untuk menjadikan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas sebagai referensi dan melakukan wawancara penelitian terhadap Komisi Nasional Disabilitas sehingga memperoleh informasi dan data tambahan sehingga penulisan penelitian menjadi lebih komprehensif. (SM/MRM/SP)