Kantor Perwakilan

Komnas HAM Perwakilan Aceh Beri Materi Pengadilan HAM kepada Peserta Pendidikan Kemahiran Advokat (PKA) dan Ujian Profesi Advokat (UPA) IKADIN

Banda Aceh – “Seorang Advokat harus memiliki kemahiran dalam menyelesaikan Perkara HAM dan Peradilan HAM”. Pernyataan ini disampaikan oleh Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama di hadapan peserta Pendidikan Kemahiran Advokat (PKA) dan Ujian Profesi Advokat (UPA) yang diselenggarakan oleh Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) DPD Provinsi Aceh, pada Selasa 7 Mei 2024, bertempat di Ruang Rapat Lt 2 Biro Universitas Muhammadiyah Aceh, Banda Aceh. Selain secara offline, PKA juga diikuti melalui zoom oleh peserta yang berasal dari Yogyakarta dan Sulawesi Utara. 

Dalam kesempatan tersebut, Sepriady memaparkan definisi Hak Asasi Manusia, Pelanggaran HAM, dan Pelanggaran HAM Berat serta Tempat Kedudukan dan Kewenangan Pengadilan HAM. Pelanggaran HAM Berat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dikategorikan menjadi dua jenis kejahatan, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk unsur-unsur umum dan unsur-unsur pidananya. Hal lain yang dibahas adalah pengertian dari salah satu perbuatan, sebagai bagian dari serangan, meluas atau sistematis, diketahuinya, pertanggungjawaban komando dan pertanggungjawaban atasan.

Sepriady menjelaskan bahwa Hukum Acara Peradilan HAM yang diatur dalam Pasal 10 s.d 33 UU No. 26 Tahun 2000 terdiri dari 8 (delapan) bagian yaitu: Umum (terkait dengan ketentuan yang menyebutkan bahwa sepanjang tidak diatur dalam UU 26/2000 maka berlaku KUHAP), Penangkapan [Pasal 11], Penahanan [Pasal 12-17], Penyelidikan [Pasal 18-20], Penyidikan {Pasal 21-22], 

Penuntutan [Pasal 23-25], Sumpah [Pasal 26], dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan [Pasal 27 -33]. Pengadilan HAM juga merupakan Pengadilan yang memiliki jurisdiksi terbatas dan khusus untuk mengadili Pelanggaran HAM Berat (Kejahatan Genosida dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan) yang merupakan international serious crimes dengan konsekuensi penerapan jurisdiksi demikian merupakan kewajiban semua Negara (erga omnes) untuk mengadilinya dan kejahatan tersebut dapat diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional atau Pengadilan Ad hoc Internasional, tambah Sepriady. 


Sepriady juga menambahkan bahwa terhadap kejahatan-kejahatan tersebut dapat diterapkan Yurisdiksi Universal dan Mekanisme Internasional apabila hukum nasional dan keputusan yang dibuat justru untuk melindungi pelaku atau tidak ada jaminan bahwa pengadilan nasional menjalankan fungsinya secara independen dan diakui secara internasional. Dengan kata lain, Mekanisme Internasional hanya dapat diterapkan jika mekanisme nasional tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (unable) menyelesaikan kejahatan serius menurut Hukum Internasional. (YU)