Kantor Perwakilan

Perlindungan Saksi dan Korban Sebagai Bagian dari Perlindungan HAM

Banda Aceh –Kekhawatiran tentang  jaminan keselamatan saksi dan korban pelanggaran HAM bukan merupakan isu baru. Pada saat darurat militer di Aceh, isu tersebut mengemuka ketika Tim Adhoc Aceh Komnas HAM yang diketuai M.M Billah melakukan investigasi ke desa-desa pedalaman di Kabupaten Aceh Utara dan Bireuen. Menanggapi  kekahwatiran tersebut, Tim memberikan dua alternatif, yaitu pertama, Komnas HAM, setidaknya sampai tahap penyelidikan akan merahasiakan identitas saksi; dan kedua, Komnas HAM akan meminta kepada Aparat Penegak Hukum untuk memberikan perlindungan dan keselamatan terhadap saksi”. Pernyataan ini disampaikan Kepala Komnas HAM Perwakilan Aceh, Sepriady Utama sebagai Pengantar Diskusi pada Workshop Penyusunan Mekanisme Perlindungan dan Korban yang diselenggarakan oleh KKR Aceh di Banda Aceh pada 26 Oktober 2023.

Berdasarkan ilustrasi di atas, Sepriady menjelaskan bahwa saksi adalah aktor utama dalam pengungkapan kejahatan baik itu, kriminal biasa, maupun extra ordinary crimes, seperti korupsi, white collar crimes dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam pengungkapan kasus kejahatan kemanusiaan sebagai bagian dari Pelanggaran HAM berat atau kejahatan serius menurut komunitas internasional, perlindungan saksi dan korban masih merupakan “problem yang harus tertangani dengan baik”.

Perhatian akan pentingnya perlindungan Saksi dan Korban di Indonesia, baru dimulai ketika dilakukan penyelidikan terhadap kasus pelanggaran HAM berat di Timor-Timur oleh Komnas HAM yang pada saat itu bekerja berdasarkan Keppres No. 50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia dan Perpu No 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM. Regulasi Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM berat dimulai ketika Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disahkan, dan kemudian diimplementasikan oleh PP No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan Saksi dan Korban Pelanggaran HAM berat.

Meski demikian, kata Sepriady, Peraturan Pemerintah dan kebijakan perlindungan saksi pada saat Darurat Militer di Aceh, tidak cukup memberikan asa aman bagi saksi maupun korban serta tidak dapat disebut sebagai program perlindungan yang komprehensif. Dengan kata lain, Tidak adanya peraturan perundangan yang secara khusus mengatur perlindungan terhadap saksi dan korban telah berkonstribusi secara signifikan terhadap lemahnya proses penegakan hukum dan hak asasi manusia.

Investigasi dan penuntutan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat sangat bergantung pada kemampuan untuk mengumpulkan informasi yang relevan secara independent dan pengumpulan kesaksian hanya dapat dilakukan jika para saksi bersedia dan mampu bersaksi secara lisan maupun tulisan, dan tanpa dihantui oleh intimidasi, teror maupun balas dendam.

Reformasi terkait Perlindungan Saksi dan Korban dimulai sejak 11 Agustus 2006 dengan diterbitkannya Undang-Undang. Nomor 13 Tahun 2006 yang kemudian diubah dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 13 Tahun 2004 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Perlindungan saksi dan korban harus berasaskan penghargaan atas harkat dan martabat manusia, rasa aman, keadilan dan tidak diskriminatif, serta kepastian hukum.

Walaupun terdapat berbagai kelemahan dalam UU tersebut, terbitnya undang-undang terkait perlindungan saksi dan korban harus dilihat sebagai langkah maju bagi perlindungan saksi dan korban dan kehadiran LPSK harus diapresiasi positif, ungkap Sepriady.

Dalam kegiatan tersebut, para peserta yang sebagian besar adalah petugas lapangan KKR Aceh membagikan pengalaman yang berhubungan dengan proses pengumpulan data dan keterangan, termasuk masih adanya korban yang merasa takut bersaksi karena faktor-faktor tertentu. Dinamika dilapangan tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi petugas lapangan KKR   .

Menanggapi hal tersebut Sepriady menyampaikan bahwa dalam proses pengumpulan data, petugas KKR harus memahami dan merujuk pada SOP. Selain itu tidak kalah pentingnya adalah perlunya memberikan kenyamanan kepada saksi dan korban pada saat pengambilan pernyataan. Oleh karena itu, penyusunan mekanisme perlindungan saksi dan korban yang diinisiasi KKR Aceh perlu didukung semua pihak. Selain Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban, serta berbagai mekanisme turunan yang telah ditetapkan oleh LPSK, KKR Aceh juga dapat dapat merujuk pada Standar Norma dan Pengaturan Nomor 9 tentang Pemulihan Korban Pelanggaran HAM yang Berat, Standar Norma dan Pengaturan No. 6 tentang Pembela HAM dan Standar Norma dan Pengaturan No.8. tentang Hak Memperoleh Keadilan yang telah diterbitkan oleh Komnas HAM.(YU/YMC