Kabar Latuharhary

MoU Komnas HAM dan UNHCR Dorong Perlindungan Pengungsi dan Pencari Suaka

Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk urusan pengungsi (UNHCR) menandatangani Nota Kesepahaman  dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia (Komnas HAM) pada 28 Juli 2015 di Ruang Pleno Utama Komnas HAM Jl. Latuharhary No.4B Menteng Jakarta Pusat.

Kerjasama ini dalam rangka meningkatkan advokasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia para pengungsi dan pihak lain yang berada di bawah mandat UNHCR di Indonesia. Kolaborasi kedua organisasi sangat dibutuhkan terutama guna memberikan perlindungan terhadap pengungsi, pencari suaka, orang tanpa kewarganegaraan dan orang - orang yang beresiko kehilangan kewarganegaraan.

“Menjadi pengungsi atau pencari suaka ke negara lain bukanlah suatu keinginan, namun kerapkali disebabkan oleh keadaan yang memaksa karena situasi keamanan dan keselamatan yang mengakibatkan mereka terpaksa harus meninggalkan negaranya,” kata Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, saat  menyampaikan pidato pembukaan acara MoU.

Permasalahan arus pencari suaka yang memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), lanjut Nur Kholis, memang tak kunjung mereda, bahkan jumlahnya kian meningkat. Hal ini antara lain dengan meningkatkan jumlah pengungsi Rohingnya (Myanmar) dan Bangladesh yang melintas wilayah Indonesia dan saat ini ditampung di wilayah Aceh dan Sumatera Utara (Medan). Jumlah tersebut akan semakin bertambah dengan masih terdapatnya sejumlah kapal pengungsi yang terapung-apung di wilayah perairan di Indonesia.

Pada kesempatan yang sama, Representatif UNHCR di Indonesia Thomas Vargas menegaskan bahwa fokus dari kerjasama yang dijalin antara UNHCR dan Komnas HAM adalah meningkatkan pemahaman dan kepercayaan di antara pengungsi dan komunitas tuan rumah sehingga akan memperbaiki lingkungan hidup kedua belah pihak. Menurut Vargas, apabila diberi kesempatan, pengungsi seringkali memberikan kontribusi berharga bagi komunitas tuan rumahnya.

"Kami berbahagia mengumumkan bahwa pada hari ini UNHCR memperkuat kolaborasinya dengan Komnas HAM, sebuah organisasi yang dikenal atas pekerjaannya memonitor penghormatan atas hak–hak asasi manusia di Indonesia, yang bertujuan untuk meniadakan diskriminasi di negara ini. Diskriminasi kerap kali muncul karena ketakutan dan miskomunikasi," ujarnya.

Berdasarkan data UNHCR, di Indonesia hingga Juni 2015, terdapat 13,188 pendatang yang menjadi perhatian UNHCR, termasuk diantaranya 5,277 pengungsi dan 7,911 pencari suaka. Kebanyakan dari mereka melarikan diri dari konflik atau pelanggaran hak asasi manusia yang mereka hadapi di negara-negara seperti Afghanistan, Myanmar, Somalia, Iran dan Irak.

Pengungsi adalah orang-orang yang terpaksa meninggalkan Negara asalnya atau tempat tinggalnya untuk menghindari persekusi dan untuk menyelamatkan nyawanya. Mereka tidak memiliki pilihan selain mencari suaka di negara lain seperti Indonesia, yang memberikan pengungsi tempat tinggal sementara yang aman sampai sebuah solusi jangka panjang yang terbaik ditemukan untuk mereka. 

Sebuah laporan yang dirilis UNHCR pada bulan Juni 2015 menunjukan bahwa perpindahan terpaksa di seluruh dunia meningkat tajam akibat peperangan, konflik, dan persekusi, dengan jumlah sebanyak 59,5 juta orang. Di Asia saja, jumlah pengungsi dan pengungsi internal meningkat 31 persen pada 2014 menjadi 9 juta orang. Afghanistan yang sebelumnya menjadi negara penghasil pengungsi terbesar, tergeser oleh Suriah. Perpindahan terpaksa yang berkelanjutan terlihat di dandari Myanmar di tahun 2014, termasuk kelompok Rohingya dari Provinsi Rakhinedan di kawasan Kachin dan Shan Utara. Iran dan Pakistan tetap menjadi empat besar negara tuan rumah bagi pengungsi di dunia.

Komnas HAM bentuk Tim Pemantauan Bagi Pengungsi
Sehubungan dengan gelombang pengungsi baik yang berasal dari Bangladesh dan Myanmar (Rohingnya) ke Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Medan), Komnas HAM telah membentuk Tim Pemantauan Pemenuhan HAM bagi Pengungsi.

Perlu disampaikan bahwa berdasarkan data pemantauan Komnas HAM, para pengungsi menyebar di sejumlah kawasan yaitu Gudang Pelindo Kuala Langsa (Kota Langsa), Gedung Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Aceh Tamiang (Kab. Aceh Tamiang), Pabrik Kertas PT. Lontar Papirus (Desa Bayeun, Kec. Rantau Selamat, Kab. Aceh  Timur), dan Gp. Blang Adoe (Kuta Makmur, Kabupaten Aceh Utara). Apabila dikalkulasi dari lokasi-lokasi tersebut, jumlah pengungsi telah mencapai angka 1448 jiwa yang terdiri dari warga negara Bangladesh dan Myanmar (Rohingnya). 

Secara singkat dapat disampaikan bahwa Pemerintah Indonesia belum mempunyai prosedur formal dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka sehingga penanganan gelombang pengungsi yang datang ke Indonesia, dalam hal ini pengungsi dari Bangladesh dan Myanmar (Rohingnya), masih membutuhkan penanganan lembaga internasional seperti International Organization for Migration (IOM) dalam hal bantuan kebutuhan material dan United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dalam hal pemberian perlindungan internasional.

Indonesia merupakan negara yang seringkali menjadi wilayah yang dilewati oleh pencari suaka dari negara asal menuju negara tujuan. Hal ini dikarenakan kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis, berada di antara dua benua yakni Asia dan Australia, serta berada di antara dua samudera yakni Hindia dan Pasifik. Negara-negara asal pencari suaka yang melewati teritori Indonesia didominasi oleh negara-negara yang berada di wilayah Asia Selatan, seperti Afganistan, Pakistan, Iran, dan Palestina. Berdasarkan kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis tersebut, ke depannya persoalan pengungsi akan semakin kompleks apabila tidak segera dirumuskan formulasi penyelesaiannya.

Persoalannya, hingga saat ini Indonesia belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967, sehingga tidak ada hukum nasional khusus yang mengatur tentang status dan keberadaan para pencari suaka di Indonesia. Selama ini penanganan atas pencari suaka dan pengungsi di Indonesia dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi sebagai lembaga pengawas orang asing yang diberikan wewenang oleh Pemerintah Indonesia sesuai dengan Undang-Undang No.9 tahun 1992 tentang keimigrasian. Indonesia terpaksa menyerahkan kewenangan penentuan status pencari suaka pada UNHCR, dengan dibantu oleh IOM yang selama ini memberikan bantuan materi untuk kebutuhan pangan dan medis para pencari suaka yang tinggal di rudenim. 

Sehubungan dengan permasalahan pengungsi khususnya pengungsi Rohingnya dan Bangladesh, maka Komnas HAM berpendapat  perlunya  urgent action demi melindungi HAM para pengungsi antara lain :
  1. Tindakan kemanusiaan untuk segera menyelamatkan para pengungsi dengan cara memberikan ijin kepada mereka untuk memasuki daratan dan memberikan pertolongan segera.
  2. Pemerintah Indonesia memberikan mandat kepada UNHCR untuk melakukan refugee status determination dan mengidentifikasi solusi jangka panjang bagi pengungsi .
  3. Pengungsi asal Rohingnya yang melarikan diri dari penganiayaan diidentifikasi sebagai pengungsi sehingga memerlukan kerjasama internasional untuk menyelamatkan mereka.
  4. Indonesia sebagai warga bangsa-bangsa dan anggota dari PBB wajib melakukan kerjasama internasional untuk penanganan pengungsi Rohingnya. 

(Eva Nila Sari)
Short link