Kabar Latuharhary

Komnas HAM : Koreksi untuk Tata Kota Jakarta

Penggusuran Kampung Pulo adalah potret betapa bermasalahnya sistem pengelolaan kota di Jakarta. Selain kerap mengorbankan warga miskin, kebijakan relokasi demi alasan pembangunan yang diberlakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta selama ini, tidak mengedepankan transparansi dan abai partisipasi masyarakat, kata Muhammad Nurkhoiron, Koordinator Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan pada jumpa pers tentang penggusuran Kampung Pulo, Senin (24/8/2015).

“Tata Kota DKI Jakarta seharusnya menjadi konsumsi publik, terutama semua warga yang akan terkena proyek. Seluruh kebijakan Pemprov  DKI tentang Tata Kelola Banjir seharusnya dapat diakses oleh publik dan melibatkan segenap warga. Apabila pola semacam ini tidak juga diterapkan kami yakini akan memicu timbulnya konflik berkepanjangan di kemudian hari, baik dengan aparat maupun antar masyarakat,” lanjut Nurkhoiron.

Persoalan di Kampung Pulo sebenarnya mengenai transparansi penanggulangan banjir di Jakarta. Pemprov DKI Jakarta, lanjut Nurkhoiron, kurang melibatkan warga dan hanya membangun komunikasi satu arah. “Komnas HAM akan membentuk tim bekerjasama dengan para pendamping dalam rangka melihat lebih jauh kebijakan tata kota Jakarta apakah telah sesuai dengan prinsip HAM atau tidak,” tukas Nurkhoiron lebih lanjut.

Para pendamping yang turut hadir pada jumpa pers kali  ini antara lain LBH Jakarta, Urban Poor Consortium Jakarta (UPC Jakarta), dan Forum Warga Kota Jakarta (Fakta). “Salah satu isu paling besar yang harus menjadi perhatian kita bersama, yaitu relokasi tanpa kekerasan dan sejak dua tahun lalu kami telah memintakan Standard Operational Procedure (SOP) Relokasi Warga, namun tidak mendapatkan respon apapun,” tambah Azas Tigor Nainggolan, Ketua Fakta.

Persoalan ini akan menggelinding laksana bola salju jika melihat potensi penggusuran dalam beberapa tahun ke depan. Berdasar data 2014, lanjut Tigor, sebanyak 14.000 warga Provinsi DKI Jakarta akan direlokasi akibat kebijakan pembangunan di Jakarta. “Bayangkan betapa besar potensi konflik yang akan kita hadapi di depan mata,” tukasnya.

Oleh karena itu, para pendamping ini menuntut agar Pemprov DKI Jakarta segera menghentikan relokasi warga sampai diberlakukannya SOP Relokasi Warga. Terkait penjemputan paksa 26 warga Kampung Pulo, kendati saat ini telah dibebaskan, telah terjadi proses penangkapan paksa terhadap para warga yang tak bisa diabaikan begitu saja. Para pihak terkait harus bertanggungjawab terhadap dampak trauma yang ditimbulkan.

“Kami mengidentifikasi adanya informasi yang tidak tepat telah disampaikan kepada Ahok oleh pejabat Camat dan Lurah terkait relokasi Kampung Pulo. Akibatnya, kebijakannya tak berpihak kepada warga miskin,” ujar Matthew dari LBH Jakarta.

Terkait persoalan ini, Komnas HAM menilai perlunya perlindungan terhadap hak para warga antara lain hak warga untuk turut berpartisipasi dalam penataan kota yang diatur dalam Pasal 28E ayat (2) dan (3) UU Dasar 1945, dan Pasal 23 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999  tentang kebebasan menyatakan sikap dan pikiran serta kebebasan untuk mengeluarkan pendapat. Lalu Pasal 28F UU Dasar 1945 dan Pasal 14 UU Nomor 39 Tahun 1999 yang mengatur tentang hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.

Selain itu adalah hak warga atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya sebagaimana diatur dalam Pasal 28G ayat (1) UU Dasar 1945 dan Pasal 29 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999.

Pemprov DKI mempunyai peran penting untuk memastikan hak-hak masyarakat terpenuhi. Pelibatkan partisipasi masyarakat dalam kebijakan tata kota DKI Jakarta khususnya dalam rangka penanganan banjir bisa jadi contohnya. (Eva Nila Sari/ Arief Setiawan)
Short link