Kabar Latuharhary

Ratifikasi Optional Protocol ICRPD untuk Penuhi Hak Penyandang Disabilitas

Komnas HAM melalui Pelapor Khusus Hak-Hak Penyandang Disabilitas bekerjasama dengan Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) telah mengadakan diskusi terfokus tentang urgensi dan relevansi ratifikasi Optional Protocol International Covenant on the Rights of Person with Disabilities (OP ICRPD) dengan narasumber Professor Ron McCallum pada Selasa, 5 April 2016, di Jakarta. Saat ini, sudah 162 negara yang meratifikasi ICRPD dan 101 yang meratifikasi Optional Protocol.

Prof. Ron McCallum adalah mantan Ketua Komite Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Penyandang Disabilitas (Committee on the Rights of Persons with Disabilities) untuk periode 2008-2010. Diskusi diikuti oleh sekitar 40 peserta dari LSM, organisasi penyadang disabilitas, media massa, dan lembaga negara.

Prof. Ron menyampaikan bahwa pengaduan melalui Komite ICRPD bisa dilakukan jika memang terdapat indikasi pelanggaran hak penyandang disabilitas oleh suatu negara dan telah dilakukan penanganan di level nasional namun tidak bisa terselesaikan. Pengadu yang mengajukan complain melalui Komite ICRPD akan melakukan klarifikasi atas pengaduan yang diterima ke pemerintah negara yang bersangkutan. Komite akan memberikan waktu selama sekitar empat bulan bagi pemerintah suatu negara untuk memberikan respon. Respon dari pemerintah akan dipelajari oleh Komite dan disampaikan ke Pengadu, sebelum kemudian akan digelar rapat tertutup oleh Komite untuk mengeluarkan Concluding Observation (Kesimpulan atas hasil observasi).

Sifat dari Concluding Observation (CR) tersebut tidak mempunyai kekuatan memaksa bagi pemerintah suatu negara untuk melaksanakan, sehingga efektivitas dari CR akan sangat tergantung pada kerjasama suatu pemerintahan. Fungsi dari Komite ada dua, yaitu membuat laporan periodik sebagai hasil pengamatan situasi pemenuhan hak penyandang disabilitas di negara-negara yang sudah meratifikasi ICRPD dan menangani pengaduan masyarakat. Dengan demikian, Komite tidak menjalankan fungsi pencegahan (prevention).

Prof. Ron memberikan beberapa contoh pengaduan yang pernah ia tangani selama menjabat sebagai anggota Komite. Penyandang disabilitas dari Swedia mengadu ke Komite karena dirinya tidak diberikan izin untuk membangun kolam renang khusus yang sesuai dengan kebutuhannya. Setelah melakukan pemeriksaan, Komite menyimpulkan bahwa Pemerintah Swedia telah melakukan pelanggaran atas Pasal 25 ICRPD yaitu terkait dengan hak atas kesehatan (right to health). Contoh lain ia sampaikan pengadu penyandang tuna netra di Hungaria yang mengadukan tentang mesin ATM yang tidak bisa ia akses. Setelah melakukan pemeriksaan, Komite meminta kepada pemerintah Hungaria agar menyediakan mesin ATM yang bisa diakses oleh penyandang tuna netra untuk memenuhi ketentuan Pasal 9 ICRPD tentang hak atas aksesibilitas.

Efektivitas dari Komite akan sangat tergantung pada kerjasama dengan organisasi-organisasi lokal sebagai supplier data sehingga ketika ada pengaduan, bisa meminta informasi pembanding dari organisasi tersebut.

Terhadap pertanyaan dari salah seorang peserta, apakah jika suatu kasus udah ditangani di level nasional namun membutuhkan waktu yang lama untuk sampai pada keputusan yang in cracht, maka pengaduan melalui Komite tetap bisa dijalankan dengan catatan tidak ada solusi atas kasus tersebut atau penanganan yang berlarut-larut.

Terkait dengan peran dari Komnas HAM dan lembaga-lembaga HAM lainnya di tingkat nasional, Pasal 33 ICRPD mengatur bahwa perlu dibentuk Komite untuk memamtau proses dan hasil pelaksanaan dari ICRPD. Pemerintah RI yang telah meratifikasi ICRPD pada tahun 2011 harus melaksanakan mandate ini agar ada monitoring yang progresif atas pelaksanaan norma-norma yang diatur di dalam ICRPD.
Short link