Kabar Latuharhary

Konsultasi Penyelesaian Permasalahan Pendirian dan Penggunaan 24 Gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh

Pada Kamis 19 Mei 2016, Komnas HAM mengadakan kegiatan konsultasi terkait dengan permasalahan pendirian dan penggunaan 24 gereja di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Kegiatan yang diikuti diantaranya oleh Bupati dan Wakil Bupati Aceh Singkil, Polda Aceh, Dandim Aceh Singkil, Kapolres Aceh Singkil, Kajari Aceh Singkil, Ketua Majelis Ulama Aceh Singkil, dan FKUB Aceh Singkil tersebut, dipimpin oleh Komisioner Nurkholis disertai staf Subkomisi Mediasi.

Kegiatan konsultasi ini merupakan respon atas pengaduan yang diterima dan ditangani oleh Subkomisi Mediasi Komnas HAM dari warga terkait dengan peristiwa penyegelan terhadap 19 (sembilan belas) gereja yang tersebar di Kecamatan Simpang Kanan, Kecamatan Suro, dan Kecamatan Paris, Kabupaten Aceh Singkil.

Menurut laporan, Muspika dan Muspida Aceh Singkil melakukan penyegelan terhadap gereja-gereja tersebut karena dianggap menyalahi kesepakatan. Inti kesepakatan tersebut adalah bahwa di wilayah Kabupaten Aceh Singkil hanya dapat didirikan satu gereja serta beberapa rumah ibadah yang lebih kecil (undung-undung) untuk mewadahi kegiatan keagamaan warga Kristen.

Sedangkan kesepakatan itu sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini, dimana telah terjadi peningkatan jumlah penganut Kristen hingga sekitar 1.700 Kepala Keluarga. Selain itu, pihak pengurus gereja juga telah berupaya memenuhi ketentuan yang disyaratkan dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Namun, pihak instansi pemerintah terkait tidak bersedia memberikan izin pendirian gereja-gereja.

Kondisi ini memicu kembali konflik antara umat beragama, yang terakhir terjadi pada Oktober 2015 lalu. Pada saat pengurus/pimpinan gereja-gereja sedang mempersiapkan dokumen/data pendirian rumah ibadah untuk diverifikasi secara bersama-sama, ternyata pada 6 Oktober 2015 terjadi aksi unjuk rasa kelompok di Aceh Singkil dan mendesak agar Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil membongkar sejumlah gereja yang dianggap tidak memenuhi syarat pendirian dan penggunaan rumah ibadat sebagaimana diatur dalam hukum yang berlaku.

Para pengunjuk rasa memberi tenggat waktu selama 1 (satu) minggu agar Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil memenuhi tuntutan mereka. Hingga pada 13 Oktober 2015 terjadi aksi massa yang berujung pada terjadinya konflik sosial dengan manifestasi berupa tindak pembakaran Gereja HKI, jatuhnya korban jiwa dan luka-luka, serta mengungsinya sekitar 6.000 warga penganut Kristen dan Katolik ke wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah dan Kabupaten Pakpak Dairi di Provinsi Sumatera Utara.

Mencermati kondisi kerukunan beragama di Provinsi Aceh, khususnya Kabupaten Singkil, Komnas HAM merasa perlu melakukan konsultasi dengan para pemangku kewajiban di Aceh untuk memastikan perlindungan dan pemenuhan hak beragama dan berkeyakinan bagi seluruh warganya terpenuhi karena dijamin di dalam Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 22 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sebab ketidakpastian kelanjutan proses perizinan ini telah menyebabkan keresahan di kalangan warga penganut agama Kristen dan Katolik karena merasa hak untuk beribadahnya semakin terkurangi. Jika kondisi ini tidak segera memperoleh respons dari pemerintah, dikhawatirkan akan kembali terjadi ketegangan sosial di Kabupaten Aceh.

Untuk itu, diadakan pertemuan konsultasi yang diharapkan ada pemahaman yang sama mengenai aturan pendirian rumah ibadah sesuai Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Kepala Dearah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah. Bahwa persyaratan warga pendukung adalah penduduk setempat dalam satu Kelurahan, dapat diperluas sampai satu Kecamatan. Tidak dipersyaratkan warga penduduk berasal dari agama yang berbeda, tetapi tidak boleh tumpang tindih dengan data warga pengguna.

Lebih lanjut, berdasarkan ketentuan dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Kepala Dearah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadah, Pemda berkewajiban menerbitkan izin sementara selama 2 tahun untuk mengakomodir masyarakat yang jumlah jemaatnya banyak.

Setelah melalui proses konsultasi, muncul komitmen dari Pemkab Aceh Singkil sebagai berikut:
  1. Bupati Aceh Singkil menetapkan 11 gereja yang sudah memperoleh Rekomendasi dari FKUB dan Kantor Kemenag Kab. Aceh Singkil untuk segera diterbitkan izinnya;
  2. Pemkab Aceh Singkil akan membuatkan tempat ibadah sementara di lokasi yang tidak jauh dari 5 gereja yang sudah ditertibkan/dibongkar;
  3. Setelah selesai proses perizinan 11 gereja sebagaimana poin 1 (satu) diatas, Pemkab Aceh Singkil akan segera memproses pendirian kembali 10 gereja yang sudah ditertibkan/dibongkar, sesuai aturan yang berlaku;
  4. Pemkab Aceh Singkil akan terus melakukan komunikasi dan konsultasi dengan Komnas HAM dalam setiap upaya penyelesaian masalah, utamanya sebelum pembuatan tempat ibadah sementara;
  5. Bahwa dalam rangka membangun kembali hubungan kultur diantara warga masyarakat di Kabupaten Aceh Singkil yang sempat terganggu pasca peristiwa 13 Oktober 2015, Komnas HAM meminta Bupati Aceh Singkil untuk segera menginisiasi kegiatan kultural yang dapat menjadi sarana rekonsiliasi bagi warga di Kabupaten Aceh Singkil.
(Iriena Herryati)
Short link