Kabar Latuharhary

Tantangan Kapolri Baru

Oleh: Mimin Dwi Hartono

Presiden telah menunjuk Komisaris Jenderal Polisi Tito Karnavian sebagai calon Kapolri menggantikan Jenderal Badrodin Haiti yang akan segera memasuki usia pensiun. Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat secara aklamasi telah menerima pencalonan Komisaris Jenderal  Tito untuk disahkan di dalam Sidang Paripurna DPR.

Dalam program prioritas Kapolri yang disampaikan dalam Uji Kelayakan dan Kepatutan pada 23 Juni 2016, Tito tidak secara eksplisit menempatkan isu strategis hak asasi manusia di dalamnya. Padahal, tantangan besar bagi Kapolri adalah melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam koridor menghormati, melindungi, dan menegakkan HAM.

Berdasarkan data pengaduan yang diterima Komisi Nasional HAM, Polri adalah lembaga yang paling banyak diadukan selama beberapa tahun terakhir, terutama terkait dengan dugaan pelanggaran pelanggaran hak atas keadilan (right to justice).

Besarnya pengaduan atas Polri tersebut tidak lepas dari kewenangan dan otoritas yang sangat besar dan luas yang dipegang oleh institusinya. Di dalam Pasal 14 – Pasal 16 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Polri memiliki 48 (empat puluh delapan) tugas dan wewenang.

Tugas dan wewenang tersebut di antaranya meliputi penegakan hukum, pemeliharaan keamanan, dan ketertiban masyarakat serta pelayanan masyarakat (public service). Kewenangan yang luas tersebut diduga sebagai faktor pemicu banyaknya pengaduan dugaan pelanggaran hak atas keadilan oleh Polri.

Materi yang diadukan oleh masyarakat ke Komnas HAM, selain persoalan administratif dan teknis, adalah terkait dengan dugaan pelanggaran due process of law. Di antaranya adalah berbagai dugaan yang meliputi penangkapan dan penahanan secara semena-mena, tersangka yang tidak disediakan pendamping hukum, penyelidikan/penyidikan yang diskriminatif, dan tindakan semena-mena dalam proses pemeriksaan untuk mendapatkan pengakuan dari tersangka.

Terpenuhinya hak atas keadilan adalah fondasi bagi terwujudnya masyarakat yang berbasis pada tatanan yang berdasarkan pada hukum (rule of law). Dalam bangunan rule of law, kepolisian adalah aktor penting dalam criminal justice system. Kepolisian berada di garda terdepan dalam criminal justice system, selain Kejaksaan, advokat, pengadilan, Mahkamah Agung, dan lembaga pemasyarakatan yang berada di bawah Kementerian Hukum dan HAM.

Hal itu diakui oleh Komisaris Jenderal Tito, di mana salah salah satu tantangannya sebagai Kapolri sebagaimana ia tuliskan di dalam program prioritas penegakan hukum yang profesional dan berkeadilan, adalah belum optimalnya sinergitas Polri dengan lembaga penegak hukum lain dalam criminal justice system.

Sebagai lembaga yang berada di hulu penanganan kasus, kepolisian dituntut profesional sehingga selektif dalam menyelidiki/menyidik kasus berdasarkan pada fakta yuridis, sosiologis, dan memenuhi asas keadilan. Jadi, bukan berdasarkan atas interpretasi hukum secara sepihak sehingga bisa melanggar hak atas keadilan.

Kualitas dan akuntabilitas penegakan hukum dari awal yang diemban oleh Polri akan menentukan proses penegakan hukum selanjutnya hingga putusan pengadilan. Polri memegang kewenangan dan tanggung jawab sangat besar untuk mewujudkan harapan masyarakat akan penegakan hukum yang berkualitas dan profesional.

Sebagai penegak hukum terdepan, polisi menjadi wajah dari negara dalam penegakan hukum, sehingga baik dan buruknya hukum dari perspektif masyarakat akan dilihat dari bagaimana Polri berhadapan dengan masyarakat, khususnya ketika menjalankan tugas penyidikan. Polisi dituntut untuk humanis dan menjadi pelayan publik yang bersahabat dengan masyarakat dan melindungi hak-hak tersangka, bukan sebaliknya.

Riuhnya apresiasi masyarakat dan pejabat publik atas fenomena “polisi baik” seperti dilakukan oleh Bripka. Seladi, anggota Polres Malang, yang rela untuk mengumpulkan sampah sebagai tambahan penghasilan, adalah ekspresi kerinduan masyarakat akan adanya polisi yang jujur dan rendah hati (humble).

Kerinduan masyarakat akan polisi yang baik dan jujur ini adalah tantangan bagi Kapolri baru untuk mewujudkannya, baik secara top down dan bottom up. Secara top down, para pejabat Polri dari tingkat pusat sampai di daerah, harus mampu menjadi contoh bagi anak buahnya. Teladan ini selain dalam bentuk perilaku yang sederhana dan humanis, juga dalam bentuk kebijakan yang mampu menekan potensi penyalahgunaan wewenang setiap anggota Polri pada setiap tingkatan.

Sedangkan secara bottom up, fenomena polisi-polisi jujur seperti Bripka. Seladi harus dipromosikan sebagai bentuk pembuktian bahwa polisi baik dan jujur adalah keniscayaan yang bisa ditunjukkan oleh masing-masing personil Polri. Anggota Polri yang berkinerja baik harus diapresiasi dan diberikan rewards yang memadai, dan sebaliknya.

Dengan begitu, tugas Komisaris Jenderal Tito jika dilantik menjadi Kapolri nanti tentu tidak akan mudah dan penuh tantangan. Namun, jika kelak Komisaris Jenderal Tito memegang jabatan Kapolri sampai pensiun atau selama tujuh tahun, diharapkan akan cukup baginya untuk membuktikan dan merealisasikan program-program prioritasnya tersebut untuk mewujudkan polisi yang jujur, humanis, profesional, dan menjunjung tinggi HAM.

(Tulisan ini pendapat pribadi, pernah dimuat di www.geotimes.co.id)
Short link