Latuharhary – Ketua Komnas HAM yang juga menjabat sebagai Pelapor Khusus Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB), M. Imdadun Rahmat, mengungkapkan bahwa Pemerintah Daerah perlu mendapatkan pendampingan yang intensif dan berkelanjutan untuk penyelesaian kasus-kasus terkait isu KBB terlebih mengingat selama beberapa tahun terakhir Pemda terindikasi sebagai pihak yang paling banyak diadukan oleh masyarakat.
Perlu disampaikan bahwa berdasarkan data pengaduan Desk KBB Komnas HAM sampai dengan Bulan Mei 2016, Pemda adalah pihak yang paling banyak diadukan oleh masyarakat sebanyak 18 pengaduan.
“Konsultasi menjadi sangat strategis terutama karena begitu banyaknya ketidaktahuan banyak pihak terkait penanganan kasus-kasus KBB,” tegas Imdadun pada penyampaikan laporan 3 bulanan Desk KBB Komnas HAM periode April s.d. Juni 2016 di Kantor Komnas HAM, Kamis (30/6/2016).
Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa selain konsultasi terutama bagi Pemda, pendampingan juga mutlak dibutuhkan dalam rangka meningkatkan kepercayaan diri. “Kepercayaan diri itu sangat dibutuhkan Pemda khususnya dalam menghadapi para kelompok yang intoleran terkait isu KBB dan pluralisme yang kerapkali mendapatkan dukungan kelompok politik lokal yang berkuasa,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Imdadun menambahkan, terkait kelompok intoleran ini sesungguhnya Pemda membutuhkan dukungan yang lebih besar khususnya dari Pemerintah Pusat baik dalam bentuk dukungan moral maupun dukungan politik. “Sampai saat ini, dukungan ini belum ada,” tukasnya.
Perlu disampaikan bahwa berdasarkan laporan Koordinator Desk KBB Komnas HAM, Djayadi Damanik, sampai dengan Juni 2016, sebaran wilayah kejadian tertinggi adalah di Provinsi Jawa Barat (6 pengaduan), diikuti DKI Jakarta (5 pengaduan) dan Aceh serta Bangka Belitung (4 pengaduan). Wilayah lain yang merupakan tempat kejadian dugaan pelanggaran KBB adalah Arab Saudi akibat penahanan atas 11 orang WNI selepas melaksanakan sholat Idul Fitri di Masjidil Haram oleh Pemerintah Arab Saudi.
Pihak yang paling banyak diadukan sampai dengan Mei 2016, adalah Pemerintah Daerah (18 pengaduan), diikuti Kelompok Masyarakat (6 pengaduan) dan Organisasi (5 pengaduan). Jumlah pengaduan tertinggi terkait dengan pelarangan pendirian rumah ibadah sebanyak 11 kasus, diikuti pelarangan aktivitas JAI (8 pengaduan) dan pengrusakan rumah ibadah (2 pengaduan).
Perlu disampaikan bahwa berdasarkan data pengaduan Komnas HAM, pengaduan terkait isu KBB terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Apabila pada tahun 2014, angka pengaduan terkait isu KBB mencapai 74 pengaduan, angkanya meningkat hingga 89 pengaduan pada tahun 2015. Diperkirakan angka ini terus mengalami peningkatan pada 2016. Pasalnya hingga Mei ini saja, Desk KBB Komnas HAM telah mencatat 34 kasus pengaduan terkait isu KBB.
Kasus-Kasus Multidimensi
Terlepas dari semakin meningkatnya pengaduan kasus KBB, Komnas HAM, lanjut Imdadun menaruh perhatian yang lebih terhadap kasus-kasus KBB yang tergolong multidimensi. “Kasus KBB yang berada pada level multidimensi adalah akibat pembiaran yang terus menerus. Pada konteks ini, Negara harus hadir,”tegas Imdadun.
Imdadun mengemukakan kasus Ahmadiyah di NTB dan kasus Syiah di Sampang. “Pada kasus-kasus ini, telah berlaku ketidaktegasan pengambil kebijakan terutama akibat kalkulasi politik pengambil kebijakan yang mendapatkan desakan dari konstituen yang intoleran. Tak dapat dipungkiri bahwa politik memang telah melakukan perselingkuhan dengan kelompok-kelompok intoleran dalam rangka dukungan politik dan finansial yang terkadang dengan kompensasi pertumbuhan gereja, peniadaan Ahmadiyah, dst,” ungkap Imdad.
Akibat pembiaran yang menahun tersebut, alhasil kelompok masyarakat yang mengalami diskriminasi ini (baca : Ahmadiyah dan Syiah) telah termiskinkan karena terusir dari kampung halamannya dan tidak dapat mengembangkan aset ekonomi.
Efek dominonya, mereka harus menghadapi terlanggarnya hak mereka atas kesehatan, ekonomi, pekerjaan, pendidikan, kecukupan sandang dan pangan. “Kondisi psiko sosial yang sangat memprihatinkan khususnya apa yang dialami oleh JAI di NTB. Tempat penampungan mereka di Transito sangat padat, tidak mendapatkan jatah hidup dari pemerintah, sekian tahun tidak memiliki akses KTP. Pemerintah sama sekali tidak memiliki skema apapun untuk menyelesaikan kasus ini utamanya memulangkan mereka ke kampung halamannya,” sesal Imdad.
Berlarutnya sejumlah kasus KBB dan semakin meningkatnya angka pengaduan terkait kasus KBB, tak dapat dipungkiri adalah akibat dari ketiadaan mekanisme penyelesaian konflik sosial. UU No.7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial hanya dapat operasional apabila daerah telah ditetapkan mengalami konflik sosial dan tidak ada daerah yang mau menyatakan daerahnya mengalami konflik sosial. (Eva Nila Sari)
Short link