Kabar Latuharhary

“Pernyataan Sultan Hamengkubawana X Patut Disayangkan”

Latuharhary – Komnas HAM menyayangkan pernyataan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Ingkang Sinuwun Sri Sultan (ISSS) Hamengkubawana X melalui salah satu media terkemuka di Yogyakarta dalam headline berjudul Jangan Ada Separatis di Yogyakarta karena dinilai telah menyudutkan salah satu etnis. “Tidak dijelaskan siapa yang dimaksud melakukan separatisme maka ada kecenderungan pernyataan tersebut ditujukan kepada semua Orang Papua dan dapat ditafsirkan sebagai pengusiran secara halus,” papar Natalius Pigai, ketua tim pemantauan dan penyelidikan kasus pengepungan asrama mahasiswa Papua di Kota Yogyakarta pada Jumpa Pers Komnas HAM di ruang pengaduan Komnas HAM, Jumat (22/07/2016).

Natalius sangat menyayangkan pernyataan tersebut terutama karena disampaikan melalui media mainstream dan mengingat tipe masyarakat Jawa yang feodal. “Pernyataan Sultan tersebut dapat dimaknai sebagai titah raja. Ini sangat berbahaya apabila dimaknai sebagai perintah oleh kurang lebih 25 ormas di sana yang cukup rasial karena selama 5 tahun belakangan ini telah menyebarluaskan Papua phobia,” sesalnya.

Jumpa pers Komnas HAM ini dilakukan dalam rangka menyampaikan hasil penyelidikan Komnas HAM terkait peristiwa pengepungan Asrama Mahasiswa Papua Kamasan I Jl. Kusumanegara No. 119 Kota Yogyakarta pada 14 s.d.16 Juli 2016 lalu. Peristiwa ini mendapat perhatian cukup luas.

Oleh karena itu, Komnas HAM RI memutuskan untuk melakukan pemantauan dan penyelidikan pada 19 s.d. 21 Juli 2016 terkait peristiwa tersebut. Pemantauan dan penyelidikan kasus tersebut sesuai dengan kewenangan Komnas HAM sebagaimana diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi dan Etnis.

Komnas HAM telah meminta keterangan dari sejumlah pihak antara lain LBH Yogyakarta, Mahasiswa Papua selaku pihak korban, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Kapolda Daerah Istimewa Yogyakarta yang didampingi Kapolresta Yogyakarta dan jajarannya. Selain itu Komnas HAM juga telah menghimpun sejumlah data, fakta dan informasi yang diperoleh dari mitra-mitra Komnas HAM di lapangan.   

Berdasarkan serangkaian informasi, data, dan fakta pemantauan dan penyelidikan atas peristiwa tersebut, maka Komnas HAM RI menemukan adanya 8 (delapan) dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia, antara lain:

Pertama, terjadi pembatasan kebebasan berekspresi dan berpendapat. Negara dalam hal ini Pemerintah Daerah dan Kepolisian seharusnya memberikan ruang dan perlindungan atas kebebasan tersebut karena merupakan hak kodrati yang melekat pada setiap orang individu dan menyangkut kedaulatan individu. Adanya tindakan pembatasan kebebasan berkekspresi dan berpendapat, bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU No. 9 Tahun 2008 tentang Kemerdekaan Menyatakan Pendapat di Depan Umum.

Kedua, adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum Anggota Kepolisian terhadap Mahasiswa Papua di luar lingkungan asrama mahasiswa Kamasan. Tindakan penganiayaan dan penyiksaan secara sadar dan sengaja merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang melekat pada setiap orang dan tidak dapat digantikan (Non Derogable Rights) sebagaimana ketentuan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No.12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik, dan UU No.5 Tahun 1998 tentang Rativikasi Konvensi Anti Penyiksaan. 

Ketiga, adanya tindakan hate speech berupa kekerasan verbal yang mengandung unsur rasisme yang dilakukan oleh Anggota Ormas saat peristiwa pengepungan seperti monyet, biadab dan hitam. Tindakan tersebut bertentangan dengan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

Keempat, adanya fakta peristiwa dimana kelompok ormas intoleran yang datang ke depan asrama mahasiswa Papua lalu berorasi dan melakukan tindakan hate speech rasis. Kejadian ini disaksikan oleh aparat keamanan. Tidak adanya pencegahan atas kedatangan ormas yang berkumpul dan berorasi tanpa ijin di depan aparat keamanan merupakan suatu tindakan pembiaran. Komnas HAM menyatakan peristiwa ini sebagai suatu pelanggaran hak asasi manusia melalui tindakan pembiaran oleh aparat (by omission). Tindakan tersebut bertentangan dengan UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Kelima, Komnas HAM RI memastikan Pemerintah Daerah Provinsi Istimewa Yogyakarta belum memberikan jaminan kebebasan dan jaminan atas rasa aman bagi Mahasiswa Papua melalui langkah-langkah kongkrit di antaranya Peraturan Daerah, Instruksi Gubernur, dan pernyataan-pernyataan untuk mencegah dan mengatasi tindakan rasisme terhadap warga Papua. Hal ini penting mengingat 5 (lima) tahun terakhir telah terjadi stigma negatif terhadap Mahasiswa Papua dan adanya Papua phobia di kalangan ormas dan masyarakat DIY.

Keenam, adanya fakta terjadinya penangkapan dan penahanan terhadap 8 (delapan) orang Mahasiswa Papua oleh Aparat Kepolisian, dan 1 (satu) diantaranya ditetapkan sebagai tersangka. Tindakan penangkapan dan penetapan sebagai tersangka terhadap Mahasiswa Papua tersebut dilakukan tanpa menunjukkan 2 (dua) alat bukti yang kuat. Tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip penegakan hukum yang berkeadilan dan non diskriminasi sebagaimana ketentuan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Hak Sipil dan Politik. 

Ketujuh, adanya tindakan excessive use of power oleh Aparat Kepolisian, ditunjukkan dengan adanya pengerahan jumlah aparat yang berlebihan, penggunaan senjata dan tembakan gas air mata yang diarahkan ke dalam Asrama Mahasiswa.

Kedelapan, terkait pernyataan Gubernur DIY tentang separatisme tidak boleh ada di Yogyakarta. Komnas HAM menilai pernyataan tersebut sangat multi tafsir karena tidak ditujukan kepada individu yang melakukan separatisme, namun dapat dimaknai bahwa pernyataan separatisme tersebut ditujukan kepada orang Papua (yang sedang menjalani studi di DI. Yogyakarta). Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Gubernur DIY, harus memastikan adanya penghormatan terhadap HAM (to respect) dan memastikan perlindungan Warga Negara (to protect). Sri Sultan Hamengku Buwono sebagai Raja Jawa bagi masyarakat DIY yang feodal dapat dicerna sebagai sebuah titah/ sabda Raja oleh Masyarakat Yogyakarta yang dikemudian hari dapat dimanfaatkan oleh 25 (duapuluh lima) ormas di DIY dan masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hak asasi manusia.

Selanjutnya Komnas HAM akan merekomendasikan kepada pihak-pihak yang terkait khususnya Pemerintah Pusat, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta dan para pihak yang terkait, untuk melakukan tindakan hukum dan langkah pencegahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini merupakan kewenangan Komnas HAM sebagai Lembaga Negara yang bertugas menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemajuan dan penegakan hak asasi manusia sebagaimana dimandatkan oleh UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM dan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. 

Rekomendasi Komnas HAM tersebut, lanjut Natalius, mengandung konsekuensi hukum dan Komnas HAM akan mengawasi proses penegakan hukum dari masing-masing rekomendasi. “Terlebih karena Komnas HAM adalah satu-satunya lembaga yang diberi kewenangan untuk mengawasi pelaksanaan UU No.40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.

“Khusus Gubernur DIY, kita akan meminta kepada Pemerintah dan Menteri Dalam Negeri agar melakukan tindakan sehingga ada pengkondisian terhadap Kepala Daerah yang tidak menyebabkan kondusivitas kehidupan keberagaman di masyarakat,” tukasnya.

Selain Menteri Dalam Negeri, menurut Natalius, pihaknya juga akan melakukan koordinasi dengan Div Propam dalam rangka penegakan hukum di internal Kepolisian dan Kapolri khusus untuk kasus kekerasan yang terjadi. “Guna mendorong proses hukum,” tukasnya.

Disinggung oleh jurnalis bahwa tindakan mahasiswa Papua tersebut sarat dengan dugaan upaya makar, Natalius menegaskan bahwa Komnas HAM bukan lembaga politik dan tidak dalam kapasitas untuk mengkritisi konten. “Komnas HAM hanya perlu memastikan bahwa hak berpendapat dan berekspresi mendapat ruang di negara ini,”tukasnya. (Eva Nila Sari)
Short link