Kabar Latuharhary

Ketika Para Tokoh Agama Jawa Barat Bicara Soal Harapan

Latuharhary - Rumahnya agak ke wilayah pojok. Pelatarannya sangat sederhana. Di seberang rumah, tepat di ujung jalan tampak beberapa deret pohon cendana dalam wadah pot plastik. Mobil terparkir tepat di lapangan yang berada di depan rumah sederhana itu. Bersama-sama kami memasuki halaman dan duduk di beberapa kursi kayu sederhana yang sepertinya telah menunggu kehadiran kami sebagaimana sang tuan rumah sudah menanti kehadiran kami sejak beberapa waktu lalu.

Fam Kiun Fat, dia biasa disapa. Sejak beberapa tahun terakhir, beliau telah menduduki jabatan di Majelis Agama Konghucu Indonesia Jawa Barat. Pria asli Tionghoa ini segera mempersilahkan kami duduk. Perbincangan pun dimulai, ditemani air segar, sambil beberapa kali diabadikan melalui kamera. Segera saya merekam semua point penting yang disampaikan melalui catatan di laptop.

Fam Kiun Fat lahir dari orangtua berkebangsaan Tionghoa yang telah merantau di bumi pertiwi sejak mereka muda. Fam tidak memungkiri keadaan tidak terlampau mudah selama orde baru. Akan tetapi situasi terasa lebih baik untuk mereka sejak terbitnya Keppres No.6 Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina yang diterbitkan era Presiden Gus Dur. Keadaan semakin membaik dan tepat 5 (lima) tahun lalu Konghucu mulai diakui. Tidak lagi sulit mengurus kepemilikan KTP sebagai modal awal mengurus berbagai bentuk administrasi kewarganegaraan.

Kendati demikian Fam masih berharap pemerintah akan mengeluarkan sejumlah peraturan yang dapat memulihkan hak penganut Konghucu sebagai warga negara. “Kami membutuhkan kejelasan agar Konghucu diakui sebagai agama oleh negara dan kami membutuhkan ketegasan dari negara bahwa Imlek adalah hari raya umat Konghucu,” tegasnya.

Ia juga berharap kolom agama pada KTP agar dihapuskan saja. “Pada pandangan saya, negara terlalu intervensi pada persoalan privat semacam persoalan agama dan pernikahan,” sesalnya.

Hingga saat ini, umat Konghucu masih dihadapkan dengan persoalan klaim ritual imlek dalam kegiatan agama lain khususnya umat Kristen baik Protestan maupun katolik. “Alasan mengapa hal ini terjadi adalah banyak warga etnis Tionghoa tidak beralih ke agama Konghucu dan menerapkan ritual imlek dalam kegiatan agama mereka dalam hal ini Kristen. Harus segera dituntaskan karena apabila tidak, saya khawatir akan menimbulkan keributan,” katanya.

Dijumpai pada kesempatan terpisah, Jahenos Saragih dari Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Wilayah Jawa Barat, menyampaikan harapannya agar tidak lagi terjadi sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang harus dialami oleh kelompok minoritas di bumi pertiwi. Saat ini, menurutnya, perubahan yang terjadi menjurus ke arah perbaikan dan dalam kadar intensitas yang terus meningkat. “Tracknya sudah baik namun sepertinya membutuhkan dua generasi lagi untuk menghapuskan trauma masa lalu. Saya sungguh berharap trauma ini tidak diturunkan ke generasi berikutnya,” tukasnya.

Di tempat yang berbeda, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Provinsi Jawa Barat Rifki Ali Mubaroq, menyampaikan bahwa pada prinsipnya Muhammadiyah mengedepankan harmonisasi dalam beragama, bukan hanya sekedar toleransi. “Harmonisasi tetap mengakui perbedaan dan tidak menimbulkan disharmonisasi,” jelasnya.

Menurutnya, harmonisasi adalah konsep menghormati perbedaan, namun bertemu dalam agenda bersama  yaitu kemanusiaan dan kebangsaan. “Jangan sampai yang dikedepankan adalah perbedaan karena perbedaan itu mutlak, terutama terkait keyakinan/ aqidah. Persoalan kerapkali terjadi akibat pergerakan minoritas untuk mempengaruhi keyakinan dan hal ini amat mengganggu,” katanya.

Lebih lanjut ia menukaskan bahwa pada prinsipnya, pendirian rumah ibadah tidak akan menuai protes dari Muhammadiyah. “Persoalannya, rumah ibadah didirikan di tengah pemukiman mayoritas Muslim dan kerapkali minim sekali penduduk non muslimnya. Belum lagi persoalan prosedur pendirian rumah ibadah yang tidak sepenuhnya memenuhi ketentuan. Sayangnya, persoalan prosedural ini kerap dikaitkan dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Padahal tidak demikian. Toleransi adalah konsep menghargai, bukan sekedar menghargai yang minoritas,” katanya.

Terkait isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan ini, ia menghimbau agar pemerintah atau aparat pada posisi yang netral agar situasi tetap kondusif.

Sebagaimana diketahui, Jawa Barat adalah salah satu provinsi dengan tingkat intoleransi yang cukup tinggi. Berdasarkan laporan Desk KBB Komnas HAM tahun 2016, tingginya angka dan kualitas pelanggaran hak kelompok minoritas khususnya minoritas agama dan keyakinan di kawasan ini, telah mendorong Desk KBB Komnas HAM melakukan penelitian di enam kawasan di Jawa Barat yaitu Kota Bekasi, Kota Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Kuningan.

Penelitian ditujukan untuk membedah kebijakan di enam daerah tersebut yang berpotensi melanggar hak atas KBB dan diskriminatif. Ternyata pada masing-masing daerah tersebut masih terdapat sejumlah peraturan daerah yang cenderung diskriminatif terhadap para penganut agama minoritas dan kepercayaan.

Kuningan masih mempunyai 3 (tiga) peraturan daerah yang tergolong diskriminatif dan melanggar hak atas KBB. Sementara Kabupaten Tasikmalaya terdapat 1 (satu), Kota Bandung mempunyai 5 (lima), Kabupaten Cianjur terdapat 5 (lima), Kota Bekasi mempunyai 12 (dua belas), dan Kota Bogor terdapat 10 (sepuluh)  peraturan daerah yang tergolong diskriminatif dan melanggar hak atas KBB.  (Eva Nila Sari)
Short link