Kabar Latuharhary

‘Ketidaktegasan Pemerintah Menjadi Akar Diskriminasi ‘

Latuharhary  – Ini bukan kali pertama kami mengunjungi  Paseban Tri Panca Tunggal. Sempat dua tahun lalu kami dilibatkan dalam seremonial Saren Taun. Bangunan itu tampak begitu lapang, begitu pintu terbuka,  suasana sejuk langsung menyergab. Pintu kayu itu langsung mengantarkan kami ke Ruang Sri Manganti. Ruang yang saat ini diperuntukkan sebagai tempat menyelenggarakan rapat persiapan upacara tahunan Seren Taun, juga sebagai ruang tamu dan tempat upacara pernikahan. Konon, ruang Sri Manganti adalah ruang rasa dimana manusia harus menemukan kebijakan dalam hidup.

Di Ruang Sri Manganti terdapat Patung Puraga Baya dan relief bayi pembawa obor. Sedangkan pada dinding Ruang Jinem terdapat ornamen hias Resi Wisesa Sukmana Tunggal (Kesatria Pinandita), raseksi, motif hias Banaspati dan Jagad Ayang-ayang. Pada tiang kedua ruang itu diukir ornamen bermotif suluran, praba, patran, dan beberapa motif ukir lainnya. Akan tetapi yang paling menyita perhatian, di ruangan ini terdapat kursi singgasana.

Ini adalah salah satu sisi Paseban Tri Panca Tunggal. Tempat yang sejak 1978 telah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional. Lokasinya di daerah Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, yang menyerupai sebuah padepokan dan tempat menimba ilmu budi dan kebatinan serta seni budaya, yang didirikan oleh Pangeran Sadewa Madrais Alibasa, pewaris tahta Kepangeranan Gebang, Cirebon Timur, pada tahun 1840.

Akibat berkali-kali melawan kehendak VOC, maka pada awal abad ke-18 Kepangeranan Gebang diserbu dan dibumihanguskan oleh VOC, gelar kepangeranan pun dicabut, dan wilayah Gebang yang mencakup daerah Ciawi sampai ke perbatasan Cilacap akhirnya dibagi-bagi untuk Keraton Kanoman, Kacirebonan dan Kasepuhan.

Setelah Kepangeranan Gebang dibumihanguskan VOC, putra mahkota yang tersisa adalah Pangeran Sadewa Madrais Alibasa yang saat itu masih masih kecil. Madrais lalu dititipkan ke Ki Sastrawardhana di Cigugur, dengan pertimbangan keamanan dan karena Cigugur pernah digunakan Mataram sebagai basis ketika menyerang VOC di Batavia. Di usia 18 tahun (1840), Pangeran Madrasi membangun gedung Paseban Tri Panca Tunggal ini.

Di tempat ini kami telah berjanji untuk bertemu dengan Dewi Kanti Setianingsih, keturunan keempat Pangeran Madrasi. Bukan untuk membicarakan latar sejarah tempat istimewa yang kami kunjungi tersebut, namun untuk menanyakan kepada beliau perihal kelangsungan kelompok agama minoritas dan kelompok kepercayaan di Jawa Barat, khususnya sekelumit dinamika yang harus dialami oleh penganut agama leluhur, Sunda Wiwitan.

Dewi Kanti kemudian mengajak kami ke ruangan yang lebih dalam, kami berbincang cukup hangat di situ. Dengan suguhan teh hangat dan kue-kue tradisional, kami melontarkan sejumlah pertanyaan. Dewi Kanti tak segan untuk mengungkapkan bahwa akar diskriminasi yang selama ini dialami oleh penganut agama minoritas dan penghayat kepercayaan adalah ketidaktegasan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Menurutnya, Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak memberikan dukungan yang diharapkan penganut agama dan kepercayaan minoritas. Pada konteks penganut agama leluhur Sunda Wiwitan, kontribusi mereka hanya pada sebatas mengembangkan potensi budaya. “Terakhir kunjungan dari Kyai Maman Imanul Haq dan Puti Guntur Soekarno, justru mendapatkan informasi yang menyudutkan posisi masyarakat adat,” ungkap tokoh masyarakat Sunda Wiwitan Dewi Kanti ketika ditemui  di kediamannya, Cigugur-Kuningan, pada Senin 31 Oktober 2016.

Dia juga menegaskan bahwa Pemerintah Kabupaten Kuningan tidak cukup jelas dalam menetapkan dan mengimplementasikan kebijakan sehingga berpotensi menyebabkan persoalan semakin berlarut-larut. Ia menyampaikan,  pada setiap momen Seren Taun yang yang diselenggarakan tiap tanggal 22 Rayagung-bulan terakhir pada sistem penanggalan Sunda di pendopo Paseban Tri Panca Tunggal kediaman Pangeran Djatikusumah yang didirikan tahun 1840, penyelenggara kerap mengundang pihak luar dalam rangka memperkenalkan potensi budaya yang dimiliki oleh Kabupaten Kuningan. “Termasuk potensi batik yang tengah kami kembangkan dan kami tidak pernah mendapatkan dukungan dari Pemerintah Kabupaten Kuningan,” katanya.

Persoalan ini masih ditambah dengan lemahnya dukungan dari Pemerintah Pusat.  Mulai dari tidak adanya layanan yang baik dalam data kependudukan, diskriminasi dalam pendidikan, masalah pada pembuatan akte kelahiran, diskriminasi pada lapangan pekerjaan, dan bentuk-bentuk diskriminasi lain.

“Bahkan kami mengidentifikasi sekolah adalah pintu bagi mereka untuk melakukan diskriminasi atas kami. Melalui sekolah dilakukan singkronisasi data identitas untuk disampaikan ke pusat termasuk informasi mengenai agama yang dianut. Apabila data yang disampaikan tidak sesuai dengan 6 (enam) agama mainstream, akan muncul (dalam sistem) belum mengisi kolom agama dengan benar. Kami telah melaporkan persoalan ini namun kami menyangsingkan penyelesaiannya akan berimbas pada perbaikan sistem nasional, hanya penyelesaian yang sifatnya kasuistik,” ungkapnya.

Pada konteks nasional, lanjutnya, pasca yudisial review UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama, lemahnya pengakuan atas penganut agama minoritas dan kelompok kepercayaan belum mengalami perkembangan yang berarti. “Saya begitu mengingat pernyataan dari Menteri Dalam Negeri beberapa waktu lalu yang dengan tegas menyampaikan bahwa agama minoritas dan penganut kepercayaan sebagai masalah yang harus segera diselesaikan padalah persoalan pencatatan data kependudukan yang menjadi kewenangan Kementerian Dalam Negeri adalah persoalan penting yang tidak dapat disepelekan,” sesalnya.

Singkat kata, lanjutnya, kelompok minoritas di Jawa Barat banyak menghadapi diskriminasi akibat pengenaan status penghayat kepercayaan. “Diskriminasi ini berlangsung begitu sistematis khususnya oleh para pejabat negara. Pada konteks ini, kami sangat membutuhkan dukungan administratif dari pemerintah,” sesalnya.

Disinggung mengenai apa sebenarnya yang menjadi harapannya bagi kelompok agama minoritas dan penghayat  kepercayaan, Dewi Kanti dengan sangat lugas menyampaikan adanya kebijakan yang jelas terutama dari Presiden RI. “Upaya kami berjejaring di Jakarta masih terbentur tidak harmonisnya kondisi kementerian (tidak singkron). Tidak ada informasi yang disharing  bersama antara kementerian ini. Presiden kami harapkan dapat mengatasi persoalan ini sehingga dalam waktu tidak terlalu lama dapat segera diterbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) untuk perlindungan agama leluhur,” paparnya.

Saat ini, katanya, semua produk aturan begitu mengarah pada penyeragaman.  Aparat tidak mempunyai perspektif yang tepat untuk agama leluhur, bahkan cenderung melecehkan.  “Sangat terlihat ketiadaan wawasan tentang bagaimana budaya-budaya leluhur, kita sungguh tercerabut dari akar sejarah dan tradisi. Kami ingin dihargai agar kami bisa berkembang dan mendidik anak-anak kami. Masyarakat kami telah ditekan secara psikologis. Sambil semua upaya ini berjalan, kami telah berupaya mendorong anak-anak kami untuk tidak rendah diri dan melihat perbedaan di sekitarnya dalam konteks toleransi,” pungkasnya.  (Eva Nila Sari)

 

Short link