Kabar Latuharhary

Komnas HAM Gelar Uji Publik Revisi UU 39/1999 di Kalangan Lembaga Negara dan LSM

Latuharhary – Komnas HAM menggelar uji publik revisi UU No.39 tahun 1999 tentang HAM  di kalangan lembaga negara dan Non Governmental Organization (NGO)  di ruang pleno utama Komnas HAM pada Kamis, 17 November 2016.

Tampak hadir sejumlah perwakilan lembaga negara dan NGO antara lain Mahkamah Konstitusi, Dewan Pers, Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Kontras, HUMA, AMAN, dan lain-lain. Setiap perwakilan lembaga yang hadir cukup banyak memberikan masukan dan menjadi catatan bagi Tim Revisi UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Perwakilan Kontras, Yati Andriani,  menyampaikan sejumlah masukan antara lain terkait pasal mengenai perbuatan-perbuatan yang dinilai melanggar HAM. “Sayangnya uraian baru sebatas perbuatan yang sifatnya tindakan. Lalu bagaimana pelanggaran HAM yang dikarenakan kebijakan yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM alias pembiaran. Saya harap jenis pelanggaran seperti ini juga dapat diatur,” pungkasnya.

Selain itu, Yati juga menyarankan agar isu mengenai mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM untuk dibicarakan lebih intensif sehingga dihasilkan rumusan yang paling tepat dan efektif. Lalu disinggung mengenai mekanisme yang dapat dibangun dalam rangka upaya pencegahan terjadinya pelanggaran HAM. “Protokol Istambul telah menegaskan perlunya mengedepankan mekanisme pencegahan pelanggaran HAM ini,” tegasnya.

Menyinggung soal subjek hukum lain, dalam hal ini korporasi, Yati menegaskan perlunya menggunakan dua sudut pandang dalam menyoal persoalan ini yaitu bentuk-bentuk pelanggaran hak ekosob dan sipol. Lebih lanjut, Yati juga menilai perlunya mensingkronkan materi revisi UU 39/1999 dengan UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM dan RUU KUHAP yang tengah dalam pembahasan perubahan.

Yati juga menyampaikan pentingnya klausul yang terkait dengan membangun jaringan, negosiasi dan upaya pressure  utamanya dalam rangka mengupayakan remedi dan mendorong pelaksanaan rekomendasi Komnas HAM. “Remedi, seringkali banyak hambatan. Terobosan telah diciptakan, namun berdasarkan pengalaman, juga dibutuhkan pressure dan negosiasi. Dalam konteks ini, seharusnya dibunyikan relasi Komnas HAM dengan lembaga lain (LPSK). Kalau bisa dibuat secara definitif akan lebih baik,” paparnya.

Azriana dari Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, menyampaikan bahwa revisi UU No.39 Tahun 1999 sebaiknya diarahkan untuk meningkatkan posisi tawar lembaga HAM serta upaya pemajuan HAM termasuk yang tengah terjadi di daerah. “Posisi mereka perlu diamankan karena mereka tengah melakukan upaya dan posisinya sangat rentan. Sebut saja KKR di Aceh, Kota Ramah HAM di Bojonegoro dan Palu, dan sejumlah perwakilan Komnas HAM,” tukasnya.

Azriana juga menyampaikan perlunya penggunaan istilah Pembela HAM diperkenalkan dalam materi UU kendati telah ada klausul tentang Partisipasi Masyarakat yang meliputi hak dan kewajiban. “Jangan sampai istilah Pembela HAM dihilangkan, seharusnya dijadikan peluang dan momentum untuk meningkatkan advokasi bagi Pembela HAM,” katanya.

Pada kesempatan yang sama, Yossa AP Nainggolan, pegawai Komnas HAM menambahkan perlunya penegasan atas hak-hak kelompok minoritas yang belum sepenuhnya terakomodasi . “Materi revisi UU 39/1999 masih cenderung heteroseksual. Kelompok transgender belum terakomodasi,” katanya.

Waspadai Upaya Pelemahan

Ketua Komisi Hukum Dewan Pers Indonesia, Yosep Adi Prasetyo atau yang biasa disapa Stanley,  pada kesempatan yang sama menyampaikan kekhawatiran akan adanya upaya-upaya pelemahan Komnas HAM melalui prosesi pemilihan Anggota Komnas HAM.

“Patut diwaspadai upaya-upaya pelemahan Komnas HAM, utamanya ketika calon yang telah dipilih dan diajukan secara demokratis dan selekti , dipangkas di tengah jala. Berkaca pada sejumlah kasus, hal ini kerapkali terjadi di DPR RI mengingat begitu banyaknya kepentingan di sana,” tukasnya.

Oleh karena itu, lanjutnya, saya mengusulkan agar proses ini lebih mengedepankan keterlibatan konstituen terkait. “Pada kasus Dewan Pers, calon telah diusulkan oleh konstituen kepada Pansel dan setelah diputuskan oleh Pansel, calon terpilih langsung disampaikan kepada Presiden RI untuk diangkat. Pada banyak kasus, mekanisme ini justru lebih demokratis,” tukasnya.    

Selain terkait mekanisme Pansel, Stanley yang sempat menjabat sebagai anggota dan salah seorang pimpinan Komnas HAM pada periode 2007-2012, menilai pentingnya meningkatkan fungsi mediasi Komnas HAM menjadi fungsi yudikasi agar Komnas HAM secara kelembagaan mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan terkait penanganan perkara.

Ia juga menyesalkan fenomena yang berkembang saat ini bahwa Komnas HAM cenderung menjadi tempat pembuangan akhir atas kasus-kasus yang telah ditangani oleh lembaga-lembaga lain. “Jangan kemudian Komnas HAM menjadi tempat pembuangan akhir. Kasus-kasus yang sudah ditangani oleh lembaga lain dan menemukan kendala, dilempar ke Komnas HAM. Hal ini sesungguhnya berpotensi menimbulkan benturan antara lembaga,” sesalnya.

Dia juga memandang penting perlunya dirumuskannya strategi terkait penggunaan mekanisme pemanggilan paksa dan permintaan dokumen. “ Harus dibicarakan lebih lanjut strateginya dan terkait upaya memperoleh dokumen penyelidikan, salah satu upaya yang dapat dijajaki adalah berelasi dengan pihak Kepolisian untuk melakukan penyitaan,” lanjutnya. 

Sejumlah masukan ini menjadi masukan yang berharga bagi Tim Revisi UU 39/1999. Koordinator Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Sandrayati Moniaga menyampaikan bahwa semua masukan akan menjadi catatan tim yang kemudian akan dilakukan pembahasan. Komnas HAM, lanjut Sandra, sangat berkeinginan untuk mengajukan konsep UU yang lebih komprehensif kepada DPR RI. Oleh karena itu, tim menunggu masukan tertulis dari para stakeholder. “Kendati demikian, keputusan tetap menjadi kewenangan tim dan mohon dukungannya karena dalam 2 (dua) minggu ke depan, akan ada keputusan apakah revisi UU 39 Tahun 1999 ini akan masuk prolegnas 2017 atau tidak,” pungkasnya.  (Eva Nila Sari)

Short link