Pemantauan dan Penyelidikan

Dugaan Pelanggaran HAM dalam Kematian Anak di Lubang Tambang

Provinsi Kalimantan Timur adalah salah satu dari provinsi utama penghasil batubara. Di Kaltim, terdapat 1.488 izin tambang bersekala Iijin Usaha Produksi (IUP) yang keseluruhan ijinnya diterbitkan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Kalimantan Timur.

Selain izin IUP, terdapat juga izin tambang yang diterbitkan oleh pemerintah pusat melalui kementerian ESDM yang disebut Perjanjian Kerjasama Pertambangan Batubara (PKP2B) sejumlah 33 PKP2B.

Dengan demikian, maka secara keseluruhan areal pertambangan di Kalimantan Timur seluar 7.2 juta Ha, dari luas keseluruhan wilayah Kalimantan Timur seluas 12.7 juta Ha dengan rincian IUP seluas 5.4 juta Ha dan PKP2B seluas 1.8 juta Ha. 

Dampak dari perijinan adalah tumpang tindih antar kawasan, tambang di kawasan padat pemukiman, salah satunya mengakibatkan lubang–lubang eks tambang yang tidak dilakukan reklamasi dan mengakibatkan korban jiwa akibat tenggelam di lubang tersebut.

Korban terus terjadi dalam 5 (lima) tahun terakhir dan mendapatkan perhatian dari Komnas HAM sejak 2013 sampai saat ini. Bahkan untuk sampai Juni 2016 korban yang meninggal sejumlah 24 orang (22 diantaranya anak-anak) dengan rincian di Kota Samarinda (15 anak), Kutai Kertanegara (8 anak) dan Pasir Panajem Utara (1 orang). 

Peristiwa-peristiwa terus terjadi dan terselesaikan secara tuntas, termasuk kasus hukum kecuali hanya beberapa kasus dan hukuman sangat ringan dalam peristiwa Ema dan Eza (24 Desember 2011). Lemahnya pembelaan dan penuntasan kasus demi kasus yang ada berkaitan dengan lubang tambang tersebut ini dikarenakan oleh kerja banyak pihak yang tidak pernah selesai diduga terjadi akibat kurangseriusnya mulai dari Pemerintah Pusat (Kementerian), Kepolisian, perusahaan dan Pemerintah Provinsi dan Kota/Kabupaten.

Terkait dengan peristiwa kematian korban akibat eks lubang batubara di Kalimantan Timur, Komnas HAM RI sesuai dengan mandat Pasal 89 ayat (3) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia telah melakukan pemantauan dan penyelidikan atas peristiwa ini pada tahun 2013, 2015 dan 2016.

Dalam proses ini, Komnas HAM RI meminta keterangan langsung dari keluarga korban, organisasi masyarakat sipil, Pemerintah Daerah (Provinsi/Kabupaten/Kota) dan Kepolisian.

Berdasarkan hasil pemantauan dan penyelidikan tersebut, Komnas HAM RI menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1.    Sampai Juni 2016 terdapat korban 22 (dua puluh dua) anak dan 2 (dua) orang dewasa meninggal dunia akibat tenggelam di lubang eks tambang batubara, dan 1 (satu) anak meninggal karena terbakar akibat sisa timbunan batubara di 3 (tiga) wilayah.

2.    Bahwa sebaran korban terdapat di Kota Samarinda (15 korban), Kab. Kutai Kartanegara (8 korban) dan 1 (satu) korban di Kabupaten Penajam Paser Utara Provinsi Kalimantan Timur.

3.    Bahwa telah terjadi dugaan pelanggaran hak hidup, hak atas kesehatan dan lingkungan yang sehat, hak untuk memperoleh keadilan, hak atas rasa aman dan hak anak yang diatur dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.  

4.    Bahwa telah terjadi dugaan pembiaran secara berlarut-larut oleh Aparat Negara baik Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan Pasal 71  Undang-Undang 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. 

5.    Bahwa proses penegakan hukum yang seharusnya dapat dilaksanakan oleh Kepolisian dan Penyidik lainnya belum menjangkau luasnya persoalan maupun jumlah korban dalam kasus matinya korban di bekas galian tambang batu bara.

6.    Telah terjadi dugaan pelanggaran hak atas anak sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Berdasarkan kesimpulan tersebut, maka secara umum Komnas HAM RI merekomendasikan sebagai berikut:

1.  Dalam kaitannya dengan kegiatan bisnis termasuk pertambangan, pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak asasi manusia  sebagaimana yang tertuang dalam konstitusi RI, Undang-Undang 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, Pilar 1 Prinsip-Prinsip Panduan Tentang Bisnis dan HAM yang sudah disetujui oleh Pemerintah RI Tahun 2011.

2.  Dunia bisnis/korporasi berkewajiban untuk menghormati HAM terutama di wilayah mereka beroperasi sebagaimana diatur dalam Pilar 2 Prinsip-Prinsip Panduan Tentang Bisnis dan HAM yang sudah disetujui oleh Pemerintah RI Tahun 2011. Ketidaktaatan Korporasi yang tidak menghormati hak-hak masyarakat lokal dalam menjalankan usahanya menunjukan bahwa Korporasi tidak mentaati Hukum Internasional dan dapat memberikan kewenangan pemerintah untuk memaksa Korporasi untuk memenuhi hak-hak warga negara yang terlanggar.

3.  Dalam hal telah timbulnya korban atau kerugian sebagi dampak dari beroperasinya Korporasi, maka Pemerintah dan Korporasi berkewajiban untuk melakukan pemulihan hak-hak warga negara yang terlanggar, sebagai mana yang diatur dalam Pilar 3 Prinsip-Prinsip Panduan Tentang Bisnis dan HAM yang sudah disetujui oleh Pemerintah RI Tahun 2011.

(Agus Suntoro)

Short link