Kabar Latuharhary

Komnas HAM Harus Memiliki Identitas!

Komnas HAM sebagai lembaga negara yang mempromosikan dan menegakkan HAM harus mengukuhkan identitasnya agar tidak terombang-ambing oleh berbagai kepentingan dan kelompok dengan memakai jargon HAM.

Demikian disampaikan oleh Muhammad AS Hikam, Pengamat Politik dan Dewan Pakar INFID dalam diskusi tentang "Intoleransi dan Radikalisme di Indonesia" yang diadakan di kantor Komnas HAM pada Senin (15/5/17). Pembicara lain adalah Ketua Dewan Pengurus YLBHI Asfinawati dan Komisioner Komnas HAM M. Imdadun Rahmat. Sebagai moderator M. Nurkhoiron (Komnas HAM).

Apa yang disampaikan oleh Hikam tersebut merespon adanya gerakan-gerakan yang memakai HAM sebagai alat kepentingan kelompoknya sesuai dengan situasinya. Hal ini misalnya terkait dengan pengaduan organisasi massa yang pada masa lalu pernah melakukan penyerangan ke Komnas HAM dan menghina Komnas HAM lewat media sosial pada beberapa bulan yang lalu. "Namun, saat ini organisasi itu menyampaikan pengaduan untuk minta jaminan perlindungan HAM," ujar Imdadun Rahmat.

Organisasi tersebut juga pernah mengadu ke Komnas HAM terkait dengan pendirian rumah ibadah di Papua. Padahal pada kepentingan yang lain, organisasi itu pernah mencerca Komnas HAM dan berbuat aksi intoleran terhadap kelompok yang lain.

Mencermati fenomena itu, menurut Asfinawati, justru menunjukan adanya pengakuan dari organisasi tersebut atas eksistensi dan pentingnya HAM. Hal ini harus dimanfaatkan untuk mengampanyekan HAM ke publik.

Untuk itu, ujar Hikam, Komnas HAM harus memiliki identitas sehingga mempunyai posisi yang kuat. "Jangan terombang-ambing oleh berbagai kepentingan dari dalam dan luar," tegas Hikam. Dengan begitu, Komnas HAM akan memiliki kredibilitas di mata publik.

Intoleran dan Radikalisme

Menurut Imdadun, tindakan intoleran ada beberapa level. Level tertinggi adalah tindakan berupa pengeboman sebagaimana terjadi di Bali dan Kedutaan Australia beberapa tahun yang lampau. Sedangkan yang paling rendah adalah berjuang melalui mekanisme konstitusional diantaranya melalui partai politik.

Munculnya organisasi dan gerakan radikal adalah dampak dari dinamika global, regional, dan nasional, yaitu ketiadaan hegemoni negara. "Di saat Orde Baru, tidak ada itu ormas radikal. Sejak Reformasi, ormas ini banyak bermunculan menawarkan ideologi alternatif dengan memanfaatkan ruang demokrasi," ujar Hikam.

Sejak Reformasi 19 tahun yang lampau, kita belum sampai pada demokrasi yang terkonsolidasi. "Kita masih sebatas demokrasi formal," kata Hikam. Banyak pihak yang berkepentingan dengan Indonesia karena secara geopolitik sangat menarik.

Sedangkan Asfinawati menyampaikan bahwa tindakan intoleran tidak bisa dilawan dengan cara yang intoleran."Harus ada upaya untuk menyentuh akar persoalannya, misalnya di tingkat pendidikan. Hal ini karena benih intolerani sudah masuk di ranah pendidikan," kata Asfin. "Pembubaran ormas radikal tidak akan efektif, karena hanya akan memunculkan ormas yang lain, ujarnya. (MDH)
Short link