Pada 11-12 Oktober 2017, sebanyak 75 peserta dari berbagai organisasi dan negara yang mengikuti Konferensi Agribisnis dan Hak Asasi Manusia di Pontianak, Kalimantan Barat, mengeluarkan "Resolusi Pontianak."
Konferensi membahas langkah-langkah untuk memastikan Negara dan aktor-aktor Non-Negara menghormati, melindungi, memenuhi dan memulihkan HAM di sektor agribisnis.
Gubernur Kalimantan Barat dalam sambutan pada pembukaan konferensi yang disampaikan oleh Staf Ahli Gubernur Bidang Hukum Politik dan Pemerintahan, Drs. M. Aminuddin, M.Si, menegaskan, “penghormatan terhadap HAM tidak hanya kewajiban negara, tetapi juga tanggung jawab pelaku usaha."
Gubernur mengharapkan agar konferensi ini dapat memastikan bahwa proyek berbasis lahan yang banyak bertebaran di Kalimantan Barat menghormati HAM, termasuk pemenuhan hak-hak asasi masyarakat adat sebagai pemilik tanah, serta hak-hak para pekerja,” kata Aminuddin.
Saat ini, banyak pihak di tingkat lokal, nasional dan internasional prihatin atas pelanggaran HAM, perampasan tanah dan perusakan lingkungan terkait ekspansi agribisnis, khususnya di Asia Tenggara.
Demikian pula, keprihatinan atas isu korupsi dalam pengadaan tanah, eksploitasi pekerja, buruh migran, perempuan dan pekerja anak di perkebunan, ancaman bahaya bagi pembela HAM yang bekerja melindungi hak-hak masyarakat adat.
Di Indonesia, Komnas HAM telah merampungkan dan meluncurkan Rencana Aksi Nasional (RAN) tentang Bisnis dan HAM, untuk menyediakan standar normatif kepada pemerintah dan sektor bisnis dalam penghormatan, perlindungan HAM dan melakukan pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM.
Ketua Komnas HAM, Nur Kholis, menyampaikan telah mendesak pemerintah Indonesia untuk mengadopsi RAN Bisnis dan HAM melalui Peraturan Presiden.
“Kami tegaskan bahwa tanpa perlindungan HAM, pembangunan berbasis lahan hanya akan meninggalkan derita dan rasa sakit bagi generasi-generasi mendatang”, ungkap Nur Kholis.
Komisioner Komnas HAM Myanmar (MNHRC), Myint Kyi, mengemukakan tidak adanya pengakuan hak-hak atas tanah masyarakat merupakan sumber perampasan tanah oleh agribisnis.
“Kami menerima banyak pengaduan permasalahan perampasan tanah dan pemberian kompensasi yang tidak memadai. Di Karen, masyarakat menderita terkena dampak ekspansi perkebunan sawit, jati dan karet milik asing dan nasional, kepentingan militer. Kami merekomendasikan kepada pemerintah untuk mengembalikan tanah yang telah dirampas dan melindungi hak-hak masyarakat. Pemerintah kurang menanggapi dan situasi semakin rumit karena tidak tuntasnya gencatan senjata diseluruh negeri”, jelas Myint Kyi.
Aktivis CALG (The Coalition Against Land Grabbing) dari Filipina, JM. Salunday, mengungkapkan situasi pelanggaran HAM dialami buruh perkebunan dan masyarakat adat.
“Pemerintah masih mendorong program ekspansi perkebunan sawit di Mindanao dan Palawan, namun CALG berhasil menunda pelaksanaan sejumlah operasi illegal dari perusahaan disana”, ungkap Salunday.
Resolusi Pontianak
Konferensi ini berhasil merumuskan rancangan “Resolusi Pontianak” tentang HAM dan Agribinis di Asia Tenggara.
Beberapa hal yang termuat di dalam resolusi tersebut adalah menegaskan pentingnya setiap negara ASEAN memiliki institusi nasional HAM dan ketersediaan mekanisme HAM regional yang secara efektif dapat menangani pelanggaran-pelanggaran HAM lintas batas.
Kemudian, mendesak pemerintah secara serius menegakkan hukum dan menyelesaikan pelanggaran HAM serta pelaku usaha menghormati HAM masyarakat adat, petani, buruh dan kelestarian lingkungan hidup. (MDH/*)
Short link