Pada Jum’at, 20 Oktober 2017, Komnas HAM menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) tentang Peran Pemerintah Daerah dalam Penyelesaian Konflik Tapal Batas Antar Masyarakat Adat di Maluku.
Kegiatan diselenggarakan di Kantor Perwakilan Komnas HAM Maluku, dengan menghadirkan beberapa narasumber, yaitu Dekan Fakultas Hukum Universitas Pattimura Dr. Viktor Yuzuf Sedubun dan Staf Ahli Gubernur Maluku Dr. Abidin Wakano). Bertindak sebagai moderator adalah staf peneliti Komnas HAM Mochamad Felani.
Diskusi juga dihadiri oleh lebih dari 20 peserta, diantaranya adalah Masyarakat Hukum Adat (MHA) di wilayah Maluku, Polres Ambon, Polda Maluku, Ombudsman Maluku, dan LSM.
Tema FGD yang diangkat merupakan judul penelitian yang dilakukan oleh Kantor Perwakilan Komnas HAM di Maluku, sebagai bagian dari penelitian besar mengenai Reforma Agraria di seluruh wilayah perwakilan Komnas HAM di Daerah. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi rujukan pemerintah dalam agenda reforma agraria di seluruh wilayah Indonesia, khususnya agenda percepatan penyelesaian konlik agraria.
Yuli Toisuta sebagai peneliti dari Kantor Komnas HAM Perwakilan Maluku menjelaskan, bahwa tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui model-model penyelesaian konflik tapal batas antar MHA sehingga Pemerintah Daerah memiliki alternatif model penyelesaian konflik dan dapat memaksimalkan perannya sebagai regulator. Bagi MHA, tanah bukan hanya merupakan aset semata, namun juga sudah menjadi harga diri yang tidak boleh ditawar, karena tanah merupakan peninggalan leluhur yang perlu untuk dijaga.
Diskusi mengerucut pada rekomendasi perlunya Undang-Undang dan Peraturan Daerah yang menjadi landasan hukum pengakuan dan perlindungan MHA. Penetapan tapal batas wilayah MHA juga harus disahkan melalui Perda, dengan metode penentuan batas secara partisipatif, yaitu melibatkan dua atau lebih pihak-pihak MHA yang berkonflik hingga mencapai kesepakatan mutlak atas batas wilayah masing-masing MHA.
Dalam penetapan tapal batas, juga dibutuhkan pembuktian sejarah atau penelaahan sejarah masing-masing MHA secara mendalam dan komprehensif sehingga tidak salah dalam menentukan tapal batas, karena kesalahan penentuan tapal batas akan memicu konflik baru. (Felani)
Short link