Kabar Latuharhary

Redam Intoleransi Beragama, Komnas HAM Jajaki Kerjasama dengan Denmark

Latuharhary - Kasus intoleransi beragama di Indonesia setiap tahun semakin meningkat. Komnas HAM dan Danish Institute for Human Rights (DIHR) pun siap berkolaborasi demi meredam tindakan intoleransi.

“Ada empat fokus isu di Komnas HAM saat ini, yaitu pelanggaran HAM berat sebanyak 10 laporan ke Kejaksaan Agung, konflik agraria yang paling banyak diterima pengaduannya, isu intoleransi, dan institutional development (pengembangan lembaga). Isu intoleransi adalah isu prioritas Komnas HAM saat ini,” kata Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan Komnas HAM Beka Ulung Hapsara saat pertemuan dengan DIHR dan Duta Besar Perwakilan Khusus untuk Kebebasan Beragama atau Kepercayaan Kerajaan Denmark H.E. Michael Suhr di Kantor Komnas HAM, Selasa (03/09/2019).

Isu intoleransi beragama bagi Komnas HAM, menurut Beka, menjadi prioritas karena ada gejala peningkatan. Jumlah pengaduan dugaan pelanggaran hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) pada 2016 mencapai 97 kasus. 

Trennya makin terlihat saat survei bersama Litbang Kompas pada 25 September-03 Oktober 2018 lalu. Komnas HAM menerima 52 laporan terhadap pemerintah daerah yang dianggap mendukung tindakan intoleransi. Sebanyak 13 laporan lainnya mengadukan organisasi kemasyarakatan dan 12 laporan terhadap kelompok masyarakat yang diduga melakukan tindakan intoleransi.

Mencermati temuan tadi, Beka menemukan  pola perubahan subyek pelaku intoleransi. Lima tahun yang lalu, katanya, intoleransi beragama sebagian besar dilakukan oleh kelompok masyarakat tertentu. Namun sekarang didominasi oleh pemerintah, khususnya pemerintah daerah lantaran diakomodasi oleh sejumlah regulasi daerah, seperti peraturan daerah.

Ia menilai, kondisi tersebut sebagai bentuk kemunduran dalam upaya menciptakan situasi kondusif bagi pelaksanaan HAM di Indonesia. Sejumlah langkah nyata dari segenap komponen masyarakat diperlukan untuk meredam penyebaran virus intoleransi beragama.

Wakil Ketua Bidang Eksternal Sandrayati Moniaga melihat ruh upaya meningkatkan nilai-nilai masyarakat toleran dalam program Kota Ramah HAM dan Festival HAM. 

“Sudah empat tahun Komnas HAM memulai Kota Ramah HAM dan ada 100 kota yang sudah terlibat sejauh ini. Banyak kota atau daerah yang awalnya menolak tetapi kemudian terbuka dan menjalin kerja sama dengan Komnas HAM. Sedangkan Festival HAM rutin diadakan setiap tahunnya, dan tahun ini akan dilakukan di Jember,” terang Sandrayati. 

Program tersebut telah dikomunikasikan ke berbagai pihak, termasuk Kantor Staf Presiden. Diharapkan, Kota Ramah HAM dapat dikembangkan ke pemkot/pemkab melalui pembuatan Perpres atau Kepres tentang penerapan human right cities.

Untuk mengatasi area rawan tindak diskriminasi, Komnas HAM pun telah bekerja sama dengan kepolisian dan pemerintah, termasuk pemegang kekuasan yudikatif di daerah.

Bidang riset turut melengkapi upaya meredam intoleransi beragama. Kabiro Pemajuan HAM Komnas HAM Andante Widi Arundhati memperkenalkan Standar Norma dan Setting Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Pihaknya menyusunnya sebagai standar untuk memantau pemerintah daerah terkait pelaksanaan kebebasan dan norma dalam beragama serta berkeyakinan. 

Ia berharap standar tersebut menjadi alat pemantau yang efektif dan bisa diterima secara nasional supaya meminimalisasi munculnya interpretasi bebas atas cara beragama dan berkeyakinam.

Kerajaan Denmark yang diwakili Michael Suhr pun mengapresiasi kerja Komnas HAM dan menawarkan sejumlah kerja sama, terutama dalam penyelesaian kasus intoleransi beragama. 

“Kita bisa melakukan kerja sama dalam dua hal, capacity building untuk seluruh staf Komnas HAM dalam konteks kebebasan beragama. Kita berharap dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam melaksanakan tugasnya, terutama dalam menangani kasus. Kedua, bekerja sama dalam mendiseminasikan kebebasan beragama kepada pemerintah, polisi, dan kejaksaan. Kedua hal ini menjadi poin yang dapat kita kerja samakan,” kata Beka menimpali tawaran dari pihak Denmark. (SP/IW)

Short link