Kabar Latuharhary

Diskusi Publik Standar Norma dan Setting Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan

Denpasar – Komnas HAM menggelar diskusi publik yang membahas standar norma dan setting kebebasan beragama dan berkeyakinan Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, Bali, Selasa (17/09/2019).

Diskusi dibuka langsung oleh wakil ketua bidang internal, Hairansyah. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan kebutuhan Komnas HAM untuk mendapatkan sebanyak mungkin saran serta pendapat dari para pihak atas permasalahan kebebasan beragama dan keyakinan. Banyaknya pengaduan terkait intoleransi merupakan alasan mengapa Komnas HAM membahas isu kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Kondisi intoleransi ini tercermin dari data di Pengaduan Komnas HAM. Bahwa isu terkait dengan jaminan akan hak beragama dan berkeyakinan menempati lima besar dari isu terbanyak yang diadukan oleh masyarakat kepada Komnas HAM. Hal ini berarti kebebasan beragama dan berkeyakinan masih menjadi masalah yang harus disikapi dengan serius, khususnya Komnas HAM sebagai lembaga yang mendapatkan mandat untuk menciptakan situasi kondusif bagi pemajuan, penghormatan dan pelindungan HAM.” Ujar Hairansyah.

Lebih lanjut, Hairansyah juga menjelaskan bahwa penyusunan standar norma dan setting juga dimaksudkan untuk menjawab kebutuhan pemaknaan, penilaian dan petunjuk atas kaidah-kaidah hak asasi manusia serta peristiwa yang terjadi di masyarakat. Beliau juga menambahkan bahwa sering sekali ditemukan peristiwa yang mempertanyakan perihal pembatasan yang dapat dilakukan oleh Negara dalam isu beragama dan berkeyakinan. 

“Dalam dunia pendidikan tidak jarang ditemukan kebijakan di sekolah-sekolah umum apakah boleh mengharuskan setiap peserta didik memilih salah satu pengajaran agama yang harus diambil. Untuk menjawab pertanyaan tersebut dibutuhkan standar norma dan setting yang akan menjadi rujukan bersama” Tegasnya.

Pada diskusi publik ini turut hadir beberapa pemangku kepentingan, yakni perwakilan dari Kejaksaaan Tinggi Provinsi Bali, Kementerian Agama Kota Denpasar, Polda Bali, Kementerian Agama Bali, P2TP2A Kota Denpasar, Forum Kerukunan Umat Beragama Provinsi Bali, Dinas Sosial Kota Denpasar, dan beberapa peserta lainnya. Pematik diskusi kali ini ialah Gufron Mabruri, perwakilan dari Imparsial. Menurutnya, kebebasan beragama dan berkeyakinan merupakan suatu konteks yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, khususnya bagaimana cara mengelola keberagaman sosial di masyarakat yakni kebebasan beragama dan berkeyakinan.

“Isu kebebasan beragama dan berkeyakinan menjadi penting, karena ada beberapa gejala yang dapat kita amati di beberapa wilayah. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini menyangkut kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri dan kebebasan baik secara sendiri-sendiri maupun bersama orang lain, baik di tempat umum ataupun di tempat tertutup untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan dan pengajaran.” Kata Gufron Mabruri.

Lebih lanjut Gufron menyampaikan bahwa dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan, mengekspresikan peribadatannya atau disebut forum eksternum memiliki prinsip dan standar, tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang terutama yang dilakukan di ruang publik. Namun, hal tersebut hanya dapat dibatasi oleh undang-undang.

“Pembatasan yang berkaitan dengan pendirian dan penggunaan rumah ibadah hanya dapat dilakukan melalui undang-undang, dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, kemanan dan ketertiban umum. Pendirian dan penggunaan rumah ibadah juga memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan penggunanya, serta lingkungan sekitarnya. Rumah ibadah harus dimaknai sebagai ruang yang inklusif sebagai sarana membangun hubungan saling menghormati antara sesama pemeluk agama maupun keyakinan dan bersifar netral dari kontroversi isu-isu politik tertentu, serta terbebas dari kontroversi ideologi politik tertentu.” Tegasnya.


Diskusi berlangsung cukup interaktif. Hal tersebut terlihat dari antusiasme peserta diskusi publik yang hadir kali ini. Salah satu pertanyaan berasal dari Luh Putu Anggreni, perwakilan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A Kota Denpasar) menanyakan terkait pembatasan dalam hak beragama dan berkeyakinan.

“Apakah Standar Norma dan Setting Kebebasan Beragama sudah didialogkan dengan pemerintah daerah sebelumnya atau masyarakat suatu wilayah? Untuk kepentingan politik di negara ini, yang perlu dilakukan adalah dialog-dialog tentang toleransi. Apakah dengan standar norma ini menjadi pembatasan-pembatasan terhadap hal-hal tertentu dalam hak beragama dan berkeyakinan?” Ucap Luh Putu Anggreni.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Hairansyah menjelaskan bahwa pembatasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hak beragama dan berkeyakinan, harus diatur agar tidak menghapus hak dasar para penganut kepercayaan.

“Ada forum yang dapat dicampuri oleh negara, yaitu forum eksternum. Maka persoalan terkait pembatasan ini harus diatur agar tidak menghapus hak dasar para penganut kepercayaan. Ada pembatasan, kaitannya juga dengan keselamatan lingkungan sekitar, seperti contoh pembangunan menara masjid, apakah dengan tidak membangun menara mengurangi esensi masjid? Atau malah membangun menara justru membahayakan lingkungan sekitar? Ada beberapa pertimbangan dan hal yang harus dibatasi” Ujar Hairansyah.

Dalam konteks HAM, Gufron juga menyampaikan bahwa kebebasan beragama dan berkeyakinan adalah terjaminnya hak setiap orang untuk bebas beragama dan berkeyakinan, serta pilihannya tersebut berdasarkan hati nuraninya sendiri.

“Seperti contoh ada yang bilang bahwa persyaratan bagi agama adalah semua agama harus ada nabi, namun tidak semua kepercayaan memiliki nabi. Tetapi kalau definisi ini dirumuskan secara sempit akan menjadi sangat sulit. Hukum HAM itu tidak merumuskan agama, tetapi memastikan bahwa setiap orang dapat menentukan agama maupun kepercayaannya masing-masing.” Papar Gufron. (Radhia/Ibn, Foto:Zsabrina)

Short link