Kabar Latuharhary – Komnas HAM RI melalui Bagian Pengkajian dan Penelitian, menggelar workshop riset dan desain pengkajian/ penelitian Komnas HAM tahun 2020, bertempat di Hotel Oria Jakarta, pada 12-13 Maret 2020. Adapun tema pengkajian dan penelitian yang dibahas meliputi diantaranya terkait dengan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law).
Kegiatan dihadiri oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian, M.Choirul Anam, Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM, Andante Widi Arundhati, Kepala Bagian Pengkajian dan Penelitian, Mimin Dwi Hartono, dan jajaran Staf Pengkajian dan Penelitian. Hadir sebagai narasumber, Fajry Akbar dari Center for Indonesia Taxation Analysis.
Acara diawali dengan pemaparan terkait Omnibus Law RUU Cipta Kerja, yang disampaikan oleh Analis Kebijakan Komnas HAM, Kania Rahma. Pada pemaparannya, Kania menyampaikan bahwa RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) ini perlu dikaji karena mengesampingkan Hak Asasi Manusia. “Berdasarkan data Komnas HAM, korporasi menjadi salah satu pihak yang paling banyak diadukan ke Komnas HAM oleh masyarakat. Dan dalam RUU Cipta Kerja, korporasi diberikan berbagai kemudahan untuk berinvestasi.
“Pengkajian ini juga diharapkan dapat memberikan arah kepada pemerintah dalam pembentukan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana RUU Cipta Kerja dalam kerangka instrumen HAM nasional dan internasional, dan kedua adalah bagaimana penerapan norma HAM dalam RUU Cipta Kerja itu sendiri”, paparnya.
Dalam melakukan penelitian RUU Cipta Kerja, Komnas HAM menggunakan beberapa metode, diantaranya seperti FGD (Focus Group Discussion), wawancara dengan para ahli, serta secara sekunder yaitu reviu literatur seperti Undang-undang, Instrumen HAM nasional dan internasional, serta jurnal dan sumber-sumber lainnya.
Menanggapi pemaparan dari Komnas HAM, Fajry Akbar menjelaskan bahwa Omnibus Law ini merupakan sebuah terobosan yang paradigmatik. Omnibus Law Cipta Kerja seharusnya menjadi alat untuk dapat mensejahterakan masyarakat Indonesia, dengan menciptakan lapangan kerja yang berkualitas, salah satu cara yang dilakukan dengan meningkatkan investasi.
Omnibus Law Cipta Kerja, lanjut Fajry, dibagi menjadi beberapa cluster dan sumber yakni investasi, UMKM, dan pemerintah. Dan terkait tenaga kerja, ia juga memaparkan bahwa terdapat isu penurunan besaran pesangon yang akan diterima oleh pekerja. “Dari yang 32 kali gaji menjadi 17 kali gaji dan rencananya akan digantikan dengan asuransi ketenagakerjaan seperti uang dan pelatihan,” lanjutnya.
Menanggapi pemaparan Fajry Akbar, Komisioner Pengkajian dan Penelitian, M. Choirul Anam mengajukan pertanyaan terkait posisi Omnibus Law dalam RUU apakah dapat mensejahterakan rakyat Indonesia atau tidak. “Kemudian soal paradigma Upah, ini menjadi sangat penting karena apakah ini mampu menciptakan kehidupan yang layak dalam berbagai aspek HAM?” tanya Anam.
Lebih lanjut, Anam melayangkan beberapa pertanyaan lainnya meliputi perspektif Omnibus law itu sendiri, serta terkait tata kelola pengupahan bagi para pekerja. “Omnibus law itu alat, tergantung bentuknya. Omnibus law ini perspektifnya dimana? Hal ini akan menentukan, apakah ini melindungi investasi atau melindungi masyarakat? Dan apakah ini bagian dari praktek diskriminasi kebijakan atau tidak. Selain itu, terkait tata kelola pengupahan bagusnya dimana? Kenapa sampai ada upah minimun, kenapa harus ada dewan pengupahan. Ini merupakan bagian dari proteksi tenaga kerja,” tegas Anam.
Hasil pembahasan dalam workshop akan dipergunakan untuk memperbaiki desain dan substansi kajian atas RUU Omnibus Cipta Kerja, yang dalam jangka pendek akan menyusun Kertas Posisi Komnas HAM terkait RUU Omnibus Law Cipta Kerja.
Selain kajian terhadap RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) Komnas HAM juga memiliki beberapa tema pengkajian dan penilitian lainnya yang turut dibahas pada kegiatan workshop riset dan desain penelitian Komnas HAM, beberapa diantaranya ialah “Standar Penikmatan Tertinggi Hak atas Kesehatan”, “Kajian terhadap Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi”, “Kajian terhadap UU Sumberdaya Pertahanan dan Keamanan Negara”, dan “Kajian Tinjauan Konstitusi dan HAM terkait PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.8 dan 9 Tahun 2006”. (RADHIA/MDH/IBN)
Short link