Kabar Latuharhary

PSBB dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Kabar Latuharhary – Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan provinsi pertama yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada Jum’at, 10/04/2020 hingga 14 hari ke depan setelah mendapat persetujuan dari Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Setelah DKI Jakarta, 5 (lima) wilayah di Provinsi Jawa Barat yaitu Kabupaten Bekasi, Kota Bekasi, Kota Depok, Kabupaten Bogor dan Kota Bogor juga 3 (tiga) wilayah di Provinsi Banten yaitu Kota Tangerang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan juga telah mendapat persetujuan Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan akan segera dilaksanakan.

Menanggapi hal tersebut, Komnas HAM bersama dengan Imparsial dan Universitas Paramadina mengadakan diskusi online dengan tema “Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Dampaknya terhadap HAM dan Keamanan” pada Kamis, (9/04/2020). Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, M. Choirul Anam menjadi salah satu narasumber dalam diskusi daring tersebut. Narasumber lainnya adalah Charles Honoris anggota Komisi I DPR RI, Dr. Shiskha Prabawaningtyas, Dosen Universitas Paramadhina, dan Dr. Anton Aliabbas, peneliti senior Imparsial.

Dalam diskusi online tersebut, Anam memulai penjelasannya dengan mengungkapkan apa yang telah dilakukan Komnas HAM dalam merespon kejadian yang sedang terjadi.“Pertama, kami melakukan kajian terkait tata kelola penanganan COVID-19 dengan meninjau dari beberapa negara lain. Kedua mengingat Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang-Undang Penanggulangan Bencana dirasa tidak cukup, kami mendorong dibuatnya Perpu agar COVID-19 dapat tertangani dengan baik,” ungkap Anam.

Dalam kesempatan ini Anam juga menjelaskan terkait kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang saat ini sedang dilaksanakan juga kaitannya dengan pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia. ”Yang sekarang terjadi adalah diterapkannya Undang-Undang Kekarantina Kesehatan dan Pemerintah memilih untuk melaksanakan PSBB. Kalau Komnas HAM sendiri lebih setuju untuk karantina wilayah saja. PSBB ini posturnya tidak memungkinkan karena dalam konteks HAM khususnya dalam pemenuhan jaminan kebutuhan pokok tidak ada. Padahal ketika kita melarang orang untuk mobilisasi, berekspresi dan berkerumun yang berdampak pada sosial ekonomi seharusnya ada jaminan kebutuhan hidup,” jelasnya.

Tidak hanya Komnas HAM, anggota Komisi I DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Charles Honoris juga lebih sepakat untuk dilaksanakan kebijakan karantina wilayah. “Secara pribadi, saya sejak awal memang cenderung lebih sepakat dengan kebijakan karantina wilayah karena di sini Pemerintah wajib memastikan bahwa setiap warga negara yang terdampak oleh kebijakan karantina wilayah medapatkan bantuan negara untuk penghidupan yang layak. Sehingga mereka akan lebih terjamin dibandingkan saat ini,” ungkapnya.

Charles menambahkan bahwa kebijakan Pemerintah dalam menghadapi pandemic COVID-19 juga tidak boleh mendiskriminasi. “Penyakit ini tidak mendiskriminasi, siapa saja bisa terkena. Oleh karena itu dalam hal kebijakan, Pemerintah juga tidak boleh mendiskriminasi siapapun,” tambahnya.

Lebih lanjut, menurut Anam apabila seluruh kebutuhan masyarakat bisa dijamin oleh negara, mau memilih karantina wilayah atau PSBB semuanya akan berjalan dengan baik. Karena tidak adanya jaminan itulah yang membuat masyarakat menjadi bergejolak. Anam pada kesempatan yang sama juga mengungkapkan bahwa Komnas HAM telah melaksanakan kajian cepat yang menghasilkan 18 rekomendasi terkait tata kelola penanggulangan COVID-19 di Indonesia.

“Komnas HAM saat ini juga sedang melakukan monitoring dari hasil kajian cepat yang diberikan kepada Presiden dalam bentuk 18 rekomendasi.  Dari hasil rekomendasi itu ada beberapa yang sangat krusial, pertama tidak adanya platform kebijakan yang utuh dan terpusat terhadap bagaimana kita seharusnya menangani Covid-19 ini dalam semua sektor yang akhirnya membuat chaos di masyarakat. Yang kedua adalah apa terjemahan dari PSBB yang sebenarnya, baik dalam konteks koordinasi pusat dengan daerah maupun daerah satu dengan yang lain. Penerbitan Permenkes itu terlambat, harusnya menjadi satu paket dengan PP sehingga bisa berjalan bersama. Dalam hal permintaan status PSBB misalnya, beberapa waktu yang lalu masih ada Pemda yang mengajukan ke gubernur, padahal di PP harusnya permintaan langsung ke Menteri Kesehatan. Selain itu, juga muncul karantina parsial yang membingungkan. Pemda-pemda banyak melakukan improvisasi, yang akhirnya membawa konsekuensi pada tata kelola dalam konteks keamanan,” lanjutnya.

Anam juga menyinggung terkait TKI dan WNI di luar negeri. “Kementerian Luar Negeri tidak memberikan informasi yang cukup, seperti bagaimana mereka bertahan di Negara-negara tersebut. Seperti yang terjadi di Malaysia, buruh migran kita banyak yang ditahan dan sudah ada puluhan ribu yang pulang ke Indonesia melalui beberapa titik,” singgungnya.

Di akhir diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini, Anam mengungkapkan bahwa keberhasilan penanganan Covid-19 juga harus dibantu oleh seluruh elemen masyarakat. “Sekuat-kuatnya dan ssemaksimalnya usaha Pemerintah dalam menghadapi Covid-19, tanpa bantuan dan solidaritas dari masyarakat maka tidak akan berhasil,” pungkasnya. (Utari/Ibn)


Short link