Kabar Latuharhary

Menyoal Omnibus Law dalam Sistem Hukum Indonesia

Latuharhary – Komnas HAM melalui Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian melaksanakan diskusi membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Omnibus Law) melalui media daring (dalam jaringan), pada Kamis (16/4/2020). Diskusi kali ini menghadirkan Wakil Ketua Badan Legislasi DPR RI, Willy Aditya, S.Fil., MDM dan dosen Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. Sukarmi, sebagai narasumber.

Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, M. Choirul Anam saat membuka diskusi menyampaikan bahwa Komnas HAM telah melaksanakan kajian terkait RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) yang saat ini telah menghasilkan draf “Kertas Posisi” (Position Paper).

“Kami membuat kajian cepat dengan membaca hampir semua pasal, yang outputnya nanti akan kami serahkan kepada DPR dan Presiden. Diskusi ini penting bagi kami untuk mengetahui setidaknya terkait agenda kerja dan background substansi pada perdebatan-perdebatan yang ada sehingga masukan yang akan kami berikan menjadi lebih komprehensif,” ungkap Anam.

Willy Aditya mengungkapkan bahwa titik awal Omnibus Law adalah saat pidato pertama Presiden RI Joko Widodo, 20 Oktober 2019, pada Sidang Paripurna MPR RI pelantikan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa jabatan 2019-2024.

"Omnibus law ini jika dilihat titik awalnya adalah pidato Presiden ketika pelantikan, beliau ingin melakukan suatu hal yang out of the box. Pada saat itu semua orang kaget, karena tradisi hukum kita tidak menganut seperti yang disampaikan oleh Presiden. Ada political will yang luar biasa dari presiden terkait bagaimana kerangka Negara untuk keluar dari ancaman krisis global yang saat itu mengalami resesi," ungkapnya.

Willy menambahkan bahwa dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ini sedikit berbeda prosesnya bila dibandingkan dengan pembahasan RUU lainnya. “Ada kebiasaan yang berbeda untuk pembahasan omnibus law ini dengan tata tertib DPR. DIM (Daftar Inventaris Masalah—pen) biasanya disusun terlebih dahulu sebagaimana pandangan fraksi terkait RUU, maka dalam hal ini berbeda. Dibuka RDPU seluas-luasnya terlebih dahulu untuk publik dan bahkan dibuka kanal khusus,” jelas Willy.

“Per tanggal 14 April 2020, draf RUU secara resmi kami distribusikan kepada fraksi-fraksi. Ada 79 undang-undang terkait dan lebih dari 1200 pasal terkait, untuk kemudian disusun DIM secara klaster. Senin depan panitia kerja sudah terbentuk dan akan dimulai agenda RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum) untuk mendapatkan masukan dari kelompok-kelompok kepentingan baik secara langsung atau tidak langsung,” jelasnya.

Intinya, DPR akan tetap melaksanakan pembahasan RUU Cipta Kerja meskipun dalam suasana pandemi Covid-19. Hal ini karena menurut Willy, RUU Cipta Kerja menjadi solusi bagi pembangunan ekonomi negara, karena Indonesia sedang mengalami bonus demografi, dimana jumlah angkatan kerja sangat tinggi dan mereka membutuhkan adanya lapangan pekerjaan.

Dr. Sukarmi yang merupakan mantan komisioner KPPU menyampaikan bahwa sampai dengan saat ini masih banyak yang mempertanyakan tentang Omnibus Law. “Sampai saat ini masih banyak yang mempertanyakannya, di sini ada kekhawatiran yang luar biasa dari berbagai kalangan terhadap RUU Omnibus Law,” ungkapnya.

Dr. Sukarmi sepakat dengan apa yang telah disampaikan oleh Willy bahwa Omnibus Law merupakan sesuatu yang baru di Indonesia. “Seperti yang disampaikan sebelumnya, Omnibus Law merupakan suatu hal yang belum pernah terjadi di Indonesia yang merupakan Negara dengan Civil Law System. Omnibus Law ini merupakan aturan yang akan menggotong sesuatu yang besar,” jelasnya.



Lebih lanjut, Dr. Sukarmi mencontohkan beberapa negara yang menggunakan konsep Omnibus Law. “Konsep ini digunakan di negara-negara lain yang mempunyai Common law System, seperti Amerika, Australia dan lain-lain. Di Indonesia, Omnibus Law diharapkan mampu menghilangkan tumpang tindih yang menyebabkan disharmonisasi, namun masih belum diketahui juga apakah betul Omnibus Law akan bisa dijadikan solusi,” lanjutnya.

Dr. Sukarmi mencatat beberapa hal yang menjadi pro kontra terkait Omnibus Law ini. “Setidaknya terdapat beberapa pro-kontra yang berhasil saya catat, seperti aspek lingkungan dimana masalah AMDAL masih menjadi pertanyaan apakah sebagai keharusan atau akan dihilangkan, juga persoalan regulasi yang bertentangan dengan pembentukan peraturan perundang-undangan,” jelasnya.

Dr. Sukarmi juga memaparkan terkait Omnibus Law apabila dipandang dari sisi hak asasi manusia. “Jika dilihat dari sisi HAM, hak masyarakat terasa hilang dalam hal partisipasi dan pemberian masukan pada RUU ini. Dalam pasal 25 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, negara wajib membuka partisipasi publik dan menjamin hak warga negara dalam pengambilan keputusan. Di sini, rakyat harus diikutsertakan dalam proses sebelum pengambilan keputusan. Selain itu, RUU harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat. Namun kenyataan yang ditemui sampai saat ini akses yang didapatkan belumlah mudah,” paparnya.

Di akhir diskusi Dr. Sukarmi memberikan komentarnya terkait Omnibus Law yang disebut menjadi kekhawatiran berbagai kalangan ini. “Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kiranya konsep ini bisa diterapkan dalam civil law system yang dianut Indonesia, karena melihat dari negara lain sangat sulit penerapannya karena dibutuhkan sinkronisasi antar lembaga/ departemen yang terkait,” tegasnya.

Diskusi ini merupakan rangkaian kegiatan pengkajian atas RUU Cipta Kerja yang dalam pandangan Komnas HAM RI, berpotensi melanggar hak asasi manusia, khususnya hak atas kesejahteraan, hak atas lingkungan hidup, dan hak atas kesetaraan di depan hukum. Hasil diskusi akan menjadi bahan bagi Komnas HAM RI dalam merumuskan kembali Kertas Posisi dan rekomendasi kepada Presiden dan DPR RI agar setiap peraturan perundang-undangan selaras dengan norma dan prinsip hak asasi manusia.

Dalam pernyataannya ke media pada 8 April 2020, Komnas HAM RI merekomendasikan supaya pembahasan RUU Cipta Kerja ditunda karena negara dalam situasi darurat kesehatan akibat pandemi Covid-19. (Utari/ MDH/IBN)
Foto (1): Freepik.com


Short link