Kabar Latuharhary

Herd Imunity dalam Perspektif Hak Asasi Manusia


Latuharhary – Diskusi online bertema “Herd Immunity dalam Penanganan Covid-19” yang diadakan via aplikasi Zoom oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan (BEM FIKES) 2020 Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta (UPNVJ),  mengundang Komnas HAM yang diwakili oleh Kepala Bagian Pengkajian dan Penelitian, Mimin Dwi Hartono, dan Dr. Joko Mulyanto, M.Sc, PhD(c) seorang epidemiologis, pada Sabtu (09/05/20).

Diskusi ini dibuka oleh Dekan FIKES UPNVJ, Wahyu Sulistiadi, yang berharap dengan adanya diskusi dapat membuka pandangan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa UPNVJ khususnya, mengenai konsep Herd Immunity dalam penanganan Covid-19. Sebelum diskusi berlangsung, Fathinah Ranggauni, dosen FIKES UPNVJ yang berperan sebagai moderator menayangkan video pendek terkait Herd Immunity.

Berdasarkan video yang ditayangkan tersebut, Herd Immunity merupakan kekebalan kelompok yang bisa terbentuk ketika sebagian besar populasi terinfeksi virus yang terus dibiarkan menyebar sehingga banyak orang terinfeksi dan jika kuat akan bertahan hidup karena  terbangunnya kekebalan tubuh secara alami. Ketika hanya tersisa orang-orang yang kebal, virus ini akan sulit untuk menemukan orang-orang yang rentan, maka virus ini perlahan akan menghilang.

Herd Immunity dilakukan untuk membasmi virus di masa lalu, tetapi itu pun dilakukan dengan adanya vaksin. Saat ini belum ada vaksin untuk Covid-19 sehingga untuk melakukan Herd Immunity tanpa langkah-langkah lain itu tidaklah mungkin yang justru akan menimbulkan lonjakan pasien di rumah sakit dan akan menjadi sangat berbahaya.

Berdasarkan perspektif HAM, penerapan Herd Immunity tanpa adanya vaksin tidak dapat dibenarkan.“Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), Herd Immunity tanpa adanya vaksin pastinya menyalahi prinsip HAM dikarenakan hak atas kesehatan berimplikasi dengan hak atas hidup yang merupakan non-derogable rights yang tidak dapat diganggu gugat oleh siapa pun dan dalam kondisi apa pun.Hal ini diatur dalam konstitusi dan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang tentang Kesehatan”, papar Mimin.

Hak asasi manusia terdiri dari derogable rights dan non-derogable rights yang melekat pada setiap orang dan dalam pelaksanaannya Negara punya kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhinya.

“Berdasarkan konsep dan implementasinya, Herd Immunity sangat riskan jika diterapkan di Indonesia karena efektivitasnya sangat kurang dan memiliki resiko yang tinggi dengan mengorbankan jutaan orang rakyat Indonesia” ujar Mimin.

Pada tanggal 30 Maret 2020, Komnas HAM telah menyampaikan 18 poin rekomendasi kebijakan kepada Presiden, yang diantaranya adalah terkait tata kelola penanggulangan Covid-19 yang dilakukan secara terintegrasi.

“Negara harus memobilisasi secara maksimal sumber daya kesehatan yang ada dan selanjutnya sumber daya kesehatan yang ada tersebut baik dari sisi tenaga medis atau sarana dan prasarana kesehatannya, obat-obatan dan hal lainnya harus terpenuhi ketersediaannya, keterjangkauan akses tanpa adanya diskriminasi, keterimaannya, dan kualitasnya”, terang Mimin.

Terkait dengan adanya kelompok prioritas ketika sudah ada vaksin, Mimin senada dengan Joko bahea yang paling diprioritaskan adalah tenaga medis beserta tenaga pendukungnya seperti cleaning service di rumah sakit dan para supir mobil jenazah. Setelah itu adalah mereka yang rentan seperti orang lanjut usia karena rentan tertular apalagi jika memiliki penyakit bawaan.

Terakhir menurut Mimin adalah mereka yang kesulitan untuk melaksanakan social distancing yaitu mereka yang tinggal di pemukiman padat penduduk dan pasar yang mana terjadi banyak interaksi serta di lembaga-lembaga pemasyarakatan yang sudah over capacity.

Tidak hanya itu, Komnas HAM melihat landasan hukum yang saat ini digunakan yaitu Undang-Undang tentang Kekarantinaan Kesehatan tidak cukup memadai untuk mengatur atau melakukan langkah-langkah strategis dalam menanggulangi Covid-19 yang multisektoral. Bila dilihat dari sisi penyebab dan dampak yang ditimbulkan selama pandemi Covid-19, tidak hanya pada sektor kesehatan saja tetapi juga ekonomi, sosial, budaya, dan politik.

Bahkan, ujar Mimin, Komnas HAM telah meminta Presiden untuk menerbitkan peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) yang diharapkan bisa secara komprehensif mengatur dan mengendalikan seluruh sumber daya Negara untuk menanggulangi Covid-19 agar lebih terintegrasi dari pusat hingga daerah.

Mimin pun beranggapan jika pandemi Covid-19 ini akan membawa Indonesia kepada the way of life yang baru. “Setelah pandemi Covid-19 berakhir, akan ada perubahasan kesadaran masyarakat akan kesehatan dan kebersihan, termasuk mungkin akan mengubah tata kelola kesehatan baik di tingkat nasional maupun global”.

Lebih jauh Mimin menjelaskan, berdasarkan konsep HAM, Negara akan dianggap melakukan pelanggaran HAM jika melakukan pembiaran (by omission) dan kesengajaan (by commission) atas penghormatan, pemenuhan dan perlindungan HAM rakyatnya.

“Jika Pemerintah tidak melakukan tindakan apapun padahal tahu ada ancaman di depan mata, dalam hal ini ancamannya adalah Covid-19, tapi Pemerintah tidak melakukan langkah-langkah yang maksimal dan optimal dengan sumber daya yang ada maka Pemerintah akan dianggap melakukan pembiaran dan itu berimplikasi kepada Pemerintah melakukan pelanggaran HAM”, ucap Mimin.

Menurutnya, “untuk mencegah Negara tidak dianggap melakukan pelanggaran HAM adalah Negara harus melakukan tindakan-tindakan yang maksimal dan optimal dengan sumber daya yang ada. Hal ini diatur dalam pasal 2 ayat 1 dan 2 di kovenan hak internasional ekosob yang menjadi salah satu instrumen pokok HAM yang sudah diratifikasi Indonesia pada 2005”.

Selama dalam pandemi Covid-19, Pemerintah wajib mengumumkannya kepada publik data dan info terkait Covid-19 secara transparan karena memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia. Selain itu diperlukan pula adanya tujuan yang jelas dan tidak adanya tindakan kesewenang-wenangan dalam penerapan kebijakannya.

“Selama prinsip-prinsip tersebut terpenuhi maka tidak ada persoalan namun perlu adanya kejelasan waktu atas penerapan pembatasan HAM tersebut karena ahli-ahli kesehatan pun belum tahu sampai kapan pandemi ini akan berakhir”.

Terkait penerapan PSBB yang betujuan untuk memutus mata rantai Covid-19, tentu saja penerapan PSBB membutuhkan gerakan social distancing yang masif dan konsisten dari masyarakat. Memang dengan adanya penerapan PSBB ini kegiatan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan atau pun beridah di luar rumah menjadi dibatasi atau bahkan tidak ada sama sekali, ini sudah terjadi adanya pembatasan hak asasi manusia, namun pembatasan tersebut dimaksudkan atas dasar kepentingan kesehatan dan keselamatan publik dalam rangka penanggulangan Covid-19.

Berdasarkan undang-undang dan konstitusi, pembatasan seperti itu diperkenankan, sesuai dengan penjelasan Mimin, “karena dalam konteks derogable rights diperkenankan bila ada pembatasan atau pun penguranganan,  kecuali beberapa hak non-derogable rights yang mendasar, sesuai dengan pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, salah satunya adalah hak untuk hidup yang tidak boleh dikurangi walaupun dalam kondisi darurat seperti apapun karena merupakan hak mutlak yang tidak boleh ada pengurangan atau pun pembatasan apalagi pencabutan”, pungkas Mimin.

Herd Immunity dalam Perspektif Epidemologi


Dikaji dari sisi epidemologi, Joko menjelaskan jika Herd Immunity adalah konsep ketika sebagian besar dari populasi mempunyai kekebalan, sehingga penyakit menular atau penyakit infeksi tersebut tidak bisa menularkan kepada sebagian kecil kelompok populasi yang tersisa dan ini satu paket dengan adanya vaksin.

“Sangat jarang Herd Immunity terjadi karena faktor alamiah, sehingga sulit dibayangkan jika mengaplikasikan konsep Herd Immunity tanpa diikutidengan vaksin”, terang Joko.

Lebih lanjut Joko menerangkan beberapa hal yang harus menjadi perhatian ketika akan mencoba menerapkan Herd Immunity dengan cara tanpa vaksinasi atau alamiah. Pertama, reproduction read dari agen infeksinya. Semakin besar reproduction read dari virus agen infeksi, maka semakin besar proporsi populasi yang harus terinfeksi supaya bisa mencapai kekebalan kelompoknya atau Herd Immunity.

Kedua, outcometingkat keparahan yang akan didapatkan ketika virus tersebut menginfeksi populasi. Ukurannya berdasarkan case fatality rate, namun selama dalam masa pandemi case fatality rate belum bisa disimpulkan karena tidak diketahui secara pasti jumlah yang benar-benar terinfeksi virus.

Ketiga, menurut Joko, belum diketahui secara spesifik terkait imunitas yang didapatkan pasca infeksi.Dalam hal ini,imunitas yang terbentuk pasca infeksi apakahdapat menetralisir virus dan bersifat long time atau short time.“Covid-19 masih samardan karakternya banyak yang belum diketahui sehingga perlu penelitian yang mendalam dengan waktu yang lebih panjang,” papar Joko.

Indonesia, jelas Joko, tidak dapat disamakan atau dibandingkan dengan Negara lain yang melakukan Herd Immunity dalam penanganan Covid-19, dikarenakan Indonesia berbeda konteksnya yang dimana populasi Indonesia sangat besar dan sistem kesehatan yang lemah. Selain itu Indonesia juga memiliki faktor resiko yang berbeda, berdasarkan data di Indonesia korban yang meninggal dunia sebagian besar berada di usia di 40 - 60 tahun, sedangkan di Negara maju yang meninggal dunia usianya di atas 60 tahun.

“Angka kehidupan kita yang berbeda dan faktor resiko yang berbeda, mungkin perokok kita jauh lebih besar, yang dimana adanya relevansi antara perokok dengan penyakit-penyakit tertentu seperti kardiovaskular, penyakit metabolik termasuk diabetes dan penyakit paru-paru memberikan komoditas yang meningkatkan resiko kematian ketika individu tersebut terkena Covid-19”, lanjut Joko.

 Lebih lanjut Joko menyampaikan jika sampai saat ini WHO menyatakan bahwa ada 6 kandidat utama vaksin yang sudah menjalani uji klinis dan 2 diantaranya paling potensial yaitu 1 dari Oxford University Jenar Institute dan 1 lagi sebuah lembaga riset di China. Namun tidak semudah itu pula, vaksin yang sudah teruji klinis baru dapat diproduksi massal dengan membutuhkan waktu 1 hingga 1,5 tahun lamanya dan itu pun jika tidak ada kendala dalam proses pengadaannya.

Joko menegaskan, permasalahan tidak berhenti sampai adanya vaksin saja, namun perlu dipikirkan secara cermat dari sekarang untuk subjek atau kelompok prioritas yang akan mendapatkan vaksin terlebih dahulu.

“Jika vaksin sudah ada dan dapat diproduksi masal namun dengan kuota yang terbatas, perlu adanya kesepakatan bersama untuk menentukan kelompok prioritas yang akan mendapatkan vaksin. Menurut saya tenaga medis dan kelompok rentan dapat menjadi prioritas karena mereka berpotensi tinggi dan strategis”, usul Joko.

Tidak hanya itu Joko pun mengingatkan  jika Covid-19 masih dalam tahap penelitian lebih dalam sehingga karakternya pun belum diketahui secara pasti, maka dari itu diharapkan Pemerintah lebih berhati-hati dalam mengambil kebijakan penanggulangan Covid-19. Baik Pemerintah maupun masyarakat harus serius menghadapi pandemi ini.

“Terdapat beberapa langkah yang diambil oleh Negara-Negara di dunia untuk menanggulangi Covid-19 yaitu dengan cara melakukan lockdown, social atau physical distancing dan Herd Immunity. Namun Herd Immunity menjadi langkah terakhir untuk diambil dan penerapannya harus dengan adanya vaksin”, tekan Joko.(Ratih/MDH/Ibn)


Short link