Kabar Latuharhary

Komnas HAM : Political Will dan Konstelasi Politik Jadi Kunci Penyelesaian Kasus Ham yang Berat

Kabar Latuharhary – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Komnas HAM RI) menggelar diskusi publik secara daring, dengan mengusung tema “Masa Depan Penyelesaian Pelanggaran HAM yang Berat di Indonesia” pada Selasa (12/05/2020). Diskusi kali ini dibagi menjadi 2 segmen utama, pertama pembahasan terkait strategi penyelesaian pelanggaran HAM yang berat, segmen kedua berbicara mengenai pemulihan korban dan seperti apa tanggung jawab negara terhadap korban.

Salah satu narasumber pada diskusi kali ini adalah Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan, Amiruddin Al Rahab, yang juga menjabat sebagai Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Yang Berat. Pada kesempatan tersebut, Amiruddin menilai bahwa kunci dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat bukan hanya terletak pada cara pengumpulan bukti perkara belaka, namun tergantung pada Political Will dan konselasi politik Indonesia.

“Hari ini dalam menyikapi isu HAM.  Kalau dalam konteks HAM nya tidak ada, kita akan tetap berada dalam situasi seperti ini. Itu kuncinya, bukan pada bagaimana cara pengumpulkan bukti atau perintilan yang disebut dengan bukti,”  Ucap Amiruddin

Amiruddin juga menyampaikan bahwa apabila melihat dari 12 peristiwa yang selesai diselidiki oleh Komnas HAM dan tidak kunjung ditindaklanjuti oleh Jaksa Agung, catatan 12 kasus ini dari 15 peristiwa sesungguhnya 3 (tiga) peristiwa sudah dibawa pengadilan, hal yang semua terjadi pada masa otoritarian, namun tidak menghasilkan suatu norma hukum yang baru dari proses pengadilan tersebut. Amiruddin juga menyinggung bahwa Jaksa Agung yang terus menerus menolak untuk menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM terkait kasus pelanggaran HAM Berat.

Bila melihat dari 3 peristiwa yang telah diputus di Pengadilan HAM adhoc dan/atau permanen, ternyata tidak menghasilkan norma hukum baru dalam penanganan kasus Pelanggaran HAM yang Berat. Sesungguhnya melihat kenyataan politik hari ini kita sangat sulit menarik garis demarkasi antara masa lalu yang otoritarian dengan satu semangat baru tentang perubahan yang diinginkan ketika reformasi terjadi, meskipun hak asasi manusia merupakan agenda utama dalam perubahan politik di Indonesia.

Agenda penyelesaian pelanggaran HAM yang berat sesungguhnya menjadi garis demarkasi dalam era untuk membedakan diri dengan sistem otorian. Selanjutnya menurut Amir bahwa penyelesaian kasus pelanggaran HAM termasuk pelanggaran HAM yang berat dilakuan dengan tujuan untuk memperbaiki seluruh proses bernegara.

Amiruddin juga menyebutkan bahwa, berubahnya kondisi objektif secara politik juga mengakibatkan upaya Komnas HAM dalam menyelesaikan dugaan adanya pelanggaran HAM yang berat menjadi tersendat atau macet total.

“Dalam situasi seperti ini, saya ingin katakan bahwa simbol-simbol atau orang atau sosok yang dianggap dan diduga bertanggung jawab terhadap beberapa peristiwa pelanggaran HAM yang Berat itu, ternyata hari ini dia tidak lagi dianggap sebagai yang bertanggung jawab dan bahkan menjadi bagian dari pembuat kebijakan publik di Indonesia,” ujar Amiruddin.

Amir juga menjelaskan bahwa terkait sejumlah kasus Pelanggaran HAM yang Berat telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM, hanya 3 peristiwa yang dapat melalui proses persidangan. Namun, meskipun begitu hal tersebut tidak menghasilkan norma hukum yang baru.

“Undang-undang No.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sesungguhnya juga Undang-undang yang tidak berjalan dengan sendirinya, Undang-undang yang mati suri. Karena Komnas HAM sendirian memikul beban atas persoalan yang besar itu,” jelasnya.

Perlu disampaikan, kegiatan diskusi yang dimoderatori oleh Komisioner Subkomisi Pendidikan dan Penyuluhan, Beka Ulung Hapsara, tersebut menghadirkan beberapa narasumber lainnya, yakni Yati Andriyati (KontraS), Marzuki Darusman (Mantan Jaksa Agung), Andrey Sujatmoko (Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti), Ita F Nadia (Pendamping Korban) dan Yunantyo Adi (Pendamping Korban). Selain itu, kegiatan ini juga turut dihadiri oleh Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, wakil ketua bidang eksternal Sandrayati Moniaga dan juga mantan anggota Komnas HAM, Kabul Supriyadi.



Pada kesempatan kali ini, Koordinator Komisi untuk Orang yang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yati Andriyati sependapat dengan paparan Amiruddin terkait kunci dari penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat adalah memang harus ada kemauan politis, bukan sekedar teknis pengumpulan bukti belaka. Berbicara mengenai masa depan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat masa lalu, menurutnya, Pemerintah tidak lagi memandang menjadikan isu Hak Asasi Manusia sebagai suatu hal yang prioritas, termasuk juga dengan penegakan hukum di Indonesia,  namun lebih banyak terfokus pada agenda-agenda atau kebajikan lain terkait investasi, ekonomi, dan pembangunan.

Yati menyampaikan bahwa KontraS melihat masa depan yang suram dalam penyelesaian HAM Berat. Mengapa demikian? “Karena kita bisa saksikan begitu banyak hal yang terkait dengan kemandekan yang terjadi,” ucap Yati.

Meskipun ada anggapan bahwa masa depan penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat terlihat stagnan, Yati optimis, di tengah ketidakpastian tersebut masih terdapat modalitas untuk menyelesaikan kasus ini. Salah satunya dengan diakuinya kasus masa lalu yang sebagai beban sejarah, kedua ialah persistensi dari para keluarga korban (Penyintas).

“Saya rasa kita tetap punya modalitas dalam menyelesaikan masalah ini, pertama kita harus tetap akui diskursus kasus HAM masa lalu sebagai sebuah beban sejarah itu masih cukup untuk diterima sebagai sebuah beban sejarah yang harus diselesaikan. Kedua, ialah persistensi dari para keluarga korban. Apapun kondisi dan situasi mereka, serta apapun bentuk advokatif atau pemulihan yang mereka harapkan atau inginkan, saya rasa persistensi mereka inilah yang tetap harus kita akui sebagai sebuah fondasi untuk tetep bisa melanjutkan,” imbuhnya.

Sementara itu, Mantan Jaksa Agung, Marzuki Darusman menyampaikan pemaparannya terkait sejarah hak asasi manusia yang sebenarnya telah membuktikan bahwa political will yang kuat, dapat menghasilkan 3 (tiga) pengadilan HAM terlepas dari keputusan akhirnya seperti apa. Selain itu, Marzuki juga menyebutkan saat ini yang harus diubah adalah definisi korban yang semata-mata bukan hanya dimiliki perorangan, tapi semua bangsa Indonesia dapat menjadi korban apabila kasus penyelesaian pelanggaran HAM yang berat tidak terselesaikan.

 “Kita harus akui ada political will, oleh karena ada proses legislasi yang berkembang sejak 1999, sampai 2000, ke 2006 dan seterusnya. Sistem perlindungan HAM di Indonesia saat ini menggambarkan adanya Political Will, sebagai contoh digelarnya 3 perkara walaupun kandas. Terlepas pada penilaian dan hasilnya ada kesepakatan political consensus dalam menggelar perkara-perkara,  itu berarti political will itu ada. Hal yang menjadi masalah adalah bahwa ternyata kalau kita menilai kembali political will itu tidak sepenuhnya terpelihara momentumnya,”Kata Marzuki.

Pendamping korban, Ita Fatia menyampaikan bahwa dirinya memiliki perhatian tinggi terhadap kasus pelanggaran HAM yang berat, khususnya persoalan perkosaan yang terjadi terhadap perempuan, sejarah mencatat bahwa perempuan juga menjadi korban pelanggaran HAM, dan  selama ini masalah perkosaan yang menjadi bagian dari pelanggaran HAM berat masa lalu lebih sering tidak diulas, atau tidak pernah diangkat menjadi persoalan pelanggaran kemanusiaan.  Menurut Ita bahwa hak korban yang sangat penting untuk diperjuangkan yaitu kebenaran, keadilan, dan reparasi.

Sebagai informasi tambahan bahwa Komnas HAM sampai saat ini menangani 12 (dua belas) kasus pelanggaran HAM yang berat dan telah selesai penyelidikannya di Komnas HAM, serta telah dilimpahkan ke Jaksa Agung. Namun, belum ada langkah konkret dari Jaksa Agung yang seharusnya menindaklanjuti kasus tersebut sebagai penyidik ke tahap penyidikan dan penuntutan. Dua belas kasus pelanggaran HAM yang berat tersebut meliputi, Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembahan Misterius 1982-1985 (Petrus); Talangsari 1989; Trisakti, Semanggi I dan II (1998-1999); Kerusuhan Mei 1998; Penghilangan Paksa 1997-1998; Wasior (2001) Wamena dan Wasior (2003); Pembunuhan Dukun Santet 1998, Simpang KKA 1999, Rumah Geudong 1989-1998, dan kasus Paniai 2014. (Radhia/LY/RPS)

Short link