Kabar Latuharhary

Komnas HAM Tolak Rancangan Perpres Pelibatan TNI Menangani Terorisme

Kabar Latuharhary -- Komisioner Komnas HAM RI, M. Choirul Anam menyatakan menolak semua pasal dalam Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Tindak Pidana Terorisme. Hal ini beliau sampaikan saat menjadi narasumber pada Diskusi Nasional "Kupas Tuntas Kontroversi Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme" yang diadakan oleh PTKP HMI Cabang Malang, Jum'at (05/06/2020).

Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Pelibatan TNI dalam Tindak Pidana Terorisme sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sedang menjadi perbincangan hangat diberbagai kalangan. Banyak pakar, praktisi, akademisi bahkan masyarakat sipil ikut mengkritisi Rancangan Perpres tersebut.

“Karena dari awal paradigma yang ada sudah salah dan apabila Perpres dilaksanakan, maka dalam benak militer statusnya adalah perang dengan terorisme sehingga koridor-koridor hukum dalam sisi kemanusiaan akan dikesampingkan,” tegasnya.

Anam mengungkapkan bahwa saat ini Komnas HAM telah memberikan saran kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menolak Rancangan Perpres tersebut. Komnas HAM juga memberikan saran kepada Presiden untuk mendengarkan suara publik dengan tidak menandatangani Perpres tersebut karena akan menimbulkan bahaya.

“Perpres ini akan menyeret pada tipologi militer seperti yang terjadi pada era orde baru, bahkan bisa lebih parah karena saat ini alat-alat sudah jauh lebih canggih,” tegasnya.

Pencegahan, Pemulihan dan Pendanaan


Anam juga menjelaskan penanganan tindak pidana terorisme pada level pencegahan dan pemulihan. Menurutnya, pada level pencegahan akan lebih baik untuk melibatkan guru, tokoh agama, juga tokoh lain yang dipercaya untuk melawan doktrin-doktrin kekerasan. Lebih baik menyiapkan infrastruktur pendidikan daripada melibatkan TNI, karena pada dasarnya tentara dilatih untuk melakukan perang dan pelumpuhan.

Pada level pemulihan, akan lebih baik jika dilakukan oleh psikolog dan pendamping-pendamping jika dibandingkan dengan melibatkan TNI. Karena pada dasarnya TNI adalah alat pertahanan negara bukan untuk memulihkan.

Lebih lanjut,  Anam membahas soal pendanaan yang juga dibahas dalam Rancangan Perpres tersebut yang tidak transparan. Menurutnya pendanaan tersebut tidak memiliki akuntabilitas dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.

Solusi Komnas HAM

Penanganan terorisme terkadang terdapat kondisi yang memang membutuhkan pelibatan TNI. Namun bukan berarti pelibatan tersebut dapat dilakukan dengan Perpres. Sebaiknya Pemerintah dan DPR segera menyusun Undang-Undang Perbantuan agar legitimasinya menjadi lebih kuat.

“Bijaknya adalah Perpres ini tidak ditandatangani dan membuat Undang-Undang Perbantuan, sehingga perbantuan TNI tidak mengancam skenario profesionalitasnya, sistem demokrasi dan tata kelola negara hukum,” pungkasnya.



Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Dr. M. Ali Safaat, S.H., M.H. yang juga menjadi narasumber diskusi menyampaikan bahwa sebagai bentuk dari fungsi pertahanan dan keamanan harus ada pemisahan antara TNI dan Polri karena keduanya merupakan entitas berbeda yang apabila ketika disatukan akan menjadi ancaman bagi demokrasi sendiri.

Secara konstitusional, TNI merupakan kekuatan yang bertanggung jawab di bidang pertahanan dengan menggunakan kekuatan perang untuk mengatasi ancaman terhadap kedaulatan. Sedangkan fungsi keamanan untuk memelihara ketertiban dengan pendekatan penegakan hukum, dimana dalam kondisi tertentu memungkinkan pelibatan TNI tanpa meniadakan pembedaan yang ada.

Menurutnya, apabila Perpres ini merupakan salah satu pelaksanaan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka jelas perspektifnya adalah pemberantasan tingkat pidana, dan institusi yang mempunyai tanggung jawab utama adalah Polri. “Karena Perpres tersebut merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme maka seharusnya frame, perspektif dan tahapan-tahapan yang dianut adalah yang ada pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Namun kenyataan yang dilihat dari substansi Rancangan Perpres ini justru lebih banyak diambil dari Undang-Undang TNI,” jelasnya.

Diakhir paparan, M. Ali Safaat menegaskan bahwa inti persoalannya adalah walaupun Rancangan Perpres ini merupakan pelaksanaan dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tapi nafasnya sesungguhnya bukan nafas tindak pidana terorisme. Akan tetapi nafas TNI yang mempunyai perspektif perang, yang diyakini akan menimbulkan masalah pada sisi perlindungan Hak Asasi Manusia juga persoalan di bidang pencegahan terorisme itu sendiri. 

Sekjen Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Julius Ibrani memberikan paparan terkait tugas dan fungsi militer dalam Undang-Undang TNI. Disebutkan bahwa TNI berfungsi atas bidang pertahanan Negara terkait dengan ancaman militer yang didasarkan pada kebijakan dan keputusan politik Negara. TNI sebagai alat pertahanan Negara berfungsi sebagai penangkal, penindak dan pemulih terhadap segala bentuk ancaman militer.

“Yang menjadi persoalan dasar adalah masalah ketatanegaraan. Ketika ada kewenangan eksekutif untuk meng-exercise dalam konteks kewenangan pusat, maka harus ada mekanisme pengawasan dari DPR RI. Apabila itu dihilangkan, maka ada dugaan absolutisme dalam mengambil kebijakan penting soal pertahanan,” lanjutnya.

Julius juga menambahkan, dari Rancangan Perpres tentang Pelibatan TNI dalam Tindak Pidana Terorisme muncul konstruksi bahwa terjadi absolutisme Presiden atas kewenangan militer, karena hanya Presiden yang bisa memberikan cek kosong kepada militer untuk bertindak dalam konteks terorisme. (Utari/Ibn/RPS)

Short link