Kabar Latuharhary

Bela Negara Harus Berperspektif HAM

Kabar Latuharhary – Komnas HAM sedang melakukan pengkajian atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN). Undang-Undang yang disahkan pada 24 Oktober 2019 ini disinyalir berpotensi melanggar HAM.

Terkait dengan hal itu, Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM  melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kajian Undang-Undang  Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara” melalui aplikasi Zoom Meeting, Rabu (05/08/2020). FGD menghadirkan dua stakeholders yang terlibat langsung dalam penyusunan UU PSDN, yaitu Anggota Komisi I DPR RI Sukamta Mantamiharja, Ph.D dan Dirjen Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan RI, Prof. Dr. Bondan Tiara Sofyan, M.Si.

Sebelum diskusi berlangsung, FGD dibuka oleh Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Sandrayati Moniaga dengan didampingi oleh Kepala Biro Dukungan Pemajuan HAM, Andante Widi Arundhati, serta Kepala Bagian Dukungan Pengkajian dan Penelitian, Mimin Dwi Hartono. Sandra menyampaikan, “Tim Peneliti Komnas HAM perlu mendalami UU PSDN dari sisi pembuat kebijakannya agar menghasilkan kajian yang kredibel.”

Sejak Maret 2020 tim Peneliti telah melakukan sejumlah kegiatan untuk memperdalam UU PSDN, mulai dari menghimpun dan mempelajari berbagai literatur mengenai UU PSDN hingga mengadakan workshop dengan narasumber berbeda. FGD ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian terebut.

Sandra menyinggung jika Indonesia saat ini sudah menjadi Dewan HAM, sehingga perlu adanya penerapan HAM di segala lini. “Pertahanan basis Negara, namun sistem pertahanan harus berdasarkan prinsip HAM dan bersifat demokratis”, paparnya.

Anggota Komisi I DPR RI, Sukamta Mantamiharja, Ph.D mengamini pernyataan Sandra. Dia mengakui jika banyak dinamika yang terjadi selama 15 tahun hingga disahkannya UU PSDN. “Selain dari Komnas HAM, tentu saja banyak masukan juga dari praktisi-praktisi HAM lainnya, dan kami sudah memasukan prinsip HAM dalam UU PSDN”, imbuh Sukamta.

Sukamta angkat suara terkait banyaknya kritik atas UU PSDN. Menurutnya kritik negatif terhadap UU PSDN dikarenakan adanya salah tafsir atas substansi Undang-Undang tersebut. Kurangnya kajian mendalam UU PSDN menjadi pemicu orang-orang mengira jika UU PSDN sama dengan wajib militer.

Hal ini pun disampaikan Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Kementerian Pertahanan RI, Bondan Tiara Sofyan. Ia menekankan jika UU PSDN bukan ajang untuk memiliterisasi masyarakat sipil. Masyarakat sipil yang ingin bergabung menjadi komponen utama (TNI), komponen pendukung (komduk) dan komponen cadangan (komcad) dalam konteks bela Negara, bersifat sukarela.

“Tidak ada diskriminasi, semua warga Negara dapat menjadi prajurit dan ini bukan wajib militer karena seluruh proses atas persetujuan tertulis yang bersangkutan tanpa adanya paksaan”, ujar Bondan.

Bondan pun menyayangkan masih adanya pihak yang tidak menyetujui UU PSDN. Menurutnya UU PSDN merupakan wujud pertahanan Negara dalam mengantisipasi berbagai ancaman yang mengintai. Dia mengungkapkan jika saat ini tidak hanya ancaman militer dan ancaman non militer, namun ada ancaman hibrida yang muncul akibat perkembangan teknologi.

“Kementerian Pertahanan berupaya menyadarkan warga Negara dan komponen bangsa lainnya untuk bersama-sama menghadapi ancaman yang sudah ada maupun yang akan muncul”, lanjutnya. Namun Bondan mengingatkan, hal ini tidak serta merta wajibkan warga Negara untuk terjun langsung ke medan perang sebagai prajurit, tetapi menghadapinya sesuai dengan profesi dan keahlian masing-masing.

Sandra mengapresiasi keterbukaan Komisi I DPR RI dan Kementerian Pertahanan RI yang tidak mengesampingkan HAM dalam substansi UU PSDN. “Bersama-sama kita jalankan bela Negara dengan tetap melindungi dan menghormati HAM karena saya yakin tujuan kita sama yaitu untuk memajukan Indonesia”, pungkas Sandra.

Dalam sesi pendalaman, diadakan tanya jawab terkait dengan isu-isu krusial UU PSDN. Tentang partisipasi serta transparansi dalam penyusunan dan pembahasan UU PSDN, hak masyarakat untuk menolak dalam konteks pembelaaan Negara dan tata ruang pertahanan. Jaminan atas perlindungan hak milik masyarakat yang dijadikan sebagai komponen pendukung dalam upaya pertahanan Negara pun dipertanyakan.

Selain itu, isu akuntabilitas komponen cadangan juga dikemukakan karena warga Negara yang nantinya masuk dalam komponen cadangan. Harus dipastikan bahwa kemampuan dari hasil pelatihan militer dapat memberikan manfaat bagi mereka dan tidak disalahgunakan untuk kepentingan lain.

Hasil diskusi FGD ini akan dijadikan dasar dalam melakukan kajian lebih lanjut atas UU PSDN. Tentunya kajian tersebut nantinya akan menghasilkan kesimpulan dan rekomendasi yang akan disampaikan kepada Presiden RI dan DPR RI. (Ratih/MDH/Ibn/RPS)

Short link