Kabar Latuharhary

Menyoal Permasalahan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR)


Kabar Latuharhary – Dalam hal pengakuan terhadap masyarakat adat, saat ini konstitusi di Indonesia masih mengatur tentang perlunya satu pengakuan melalui Perda atau produk hukum daerah lainnya. Permasalahan saat ini adalah aturan yang ada masih terpusat pada Negara (state center) sehingga proses pengakuannya masih bergantung pada Pemda dan politik lokal. Hal tersebut belum sejalan dengan deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (Indigenous People) yang juga berpengaruh pada pengakuan Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat.

“Kenapa belum ada pengakuan, hal ini dikarenakan dinamika politik lokal di Kuningan belum mengakomodir permasalahan itu. Beberapa kabupaten lain dalam pengakuan masyarakat adat melibatkan akademisi dan kelompok-kelompok independen. Akan tetapi di Kuningan saya lihat masih didominasi oleh Pemerintah Daerah,” jelas Sandra.  

Demikian disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian, Sandrayati Moniaga dalam Webinar “Status Hukum Atas Eksistensi Masyarakat Adat di Kabupaten Kuningan”, Selasa (29/09/2020) yang dilaksanakan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan.

Lebih lanjut, Sandra menjelaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, pengakuan terhadap masyarakat adat masih parsial dan terpisah-pisah. “Kalau soal agama, Sunda Wiwitan sudah lama diakui dan tercatat oleh Dirjen Kebudayaan, akan tetapi secara administratif memang baru masuk setelah ada putusan MK terkait sistem administrasi kependudukan (adminduk). Kalau untuk pengakuan masyarakat adat itu lebih ke lembaga adat dan wilayah adat. Jadi memang masih terkotak-kotak, sehingga ke depan harus diakomodir dalam satu wadah,” tegas Sandra.

Sandra menambahkan bahwa sejak Indonesia melewati masa reformasi, konstitusi sudah mengadopsi berbagai pasal tentang HAM, sehingga harusnya dalam konteks ini HAM juga menjadi dasar untuk bergerak. “Pemerintah harus mau belajar dan melakukan refleksi untuk mengubah pendekatan yang ada menjadi aparat yang melindungi dan menghormati hak-hak warganya. Negara juga harus tegas menghadapi kelompok intoleran karena hak asasi manusia adalah hak setiap orang dan Negara adalah pengemban kewajiban untuk memberikan perlindungan, penghormatan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia,” tambah Sandra.



Koordinator Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Mimin Dwi Hartono yang hadir sebagai narasumber menyampaikan bahwa persoalan masyarakat adat di Nusantara ada pada politik hukum pemerintah yang belum berpihak pada hak-hak masyarakat adat. Selain itu instrumen hukum (konstitusi) mengakui adanya masyarakat adat, akan tetapi dengan batas-batas yang harus dipenuhi, yang justru mempersulit masyarakat adat itu sendiri.

“Padahal kan logikanya karena masyarakat adat ini sudah ada sejak Negara Indonesia berdiri, maka Pemerintah yang harusnya aktif untuk mengakui eksistensi masyarakat adat. Syarat yang bersifat absolut jangan sampai mengganggu dan menafikkan keberadaan masyarakat adat,” jelas Mimin.

Terkait perlindungan, pemenuhan dan penghormatan hak asasi manusia bagi Masyarakat Adat Karuhun Urang (AKUR) di Kuningan, Jawa Barat, Mimin menjelaskan bahwa pilar-pilar pengakuan hak atas masyarakat adat yang diatur dalam konstitusi sebenarnya sudah ada dalam diri masyarakat adat AKUR. Hal tersebut seharusnya menjadi titik tolak Negara untuk melindungi, memenuhi dan menghormati HAM masyarakat adat AKUR.

Pendekatan hak asasi manusia sangat penting dalam melihat permasalahan yang terjadi pada masyarakat adat AKUR. “Saya berpandangan bahwa kita harus melihat dari akar permasalahannya kemudian kita berusaha untuk identifikasi dan bersama-sama mengatasinya. Mungkin akar permasalahannya ada pada eksistensi masyarakat adat yang terhambat oleh administrasi hukum yang harus dipenuhi. Hal ini harus didorong dan diidentifikasi,” ujar Mimin.

Lebih lanjut, Mimin menyampaikan bahwa Komnas HAM telah menyusun Stadar Norma dan Pengaturan (SNP) tentang Hak atas Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Dalam konteks HAM, tidak ada batasan khusus terkait agama sehingga tidak ada diskriminasi atas dasar 6 (enam) agama yang diakui oleh Negara.

“Merujuk pada dokumen SNP tersebut, Negara harus meletakkan tafsir agama secara luas namun proporsional agar definisi tersebut tidak mengeksklusi atau mendiskriminasi kelompok tertentu dan tidak berdampak negatif pada pengaturan keagamaan kelompok yang lain,” lanjut Mimin.

Menutup diskusi, Mimin menyampaikan bahwa masyarakat adat mempunyai hak untuk melakukan self identification (identifikasi diri sendiri) yang menjadi bagian penting dari hak mereka. Sangat penting bagi Negara untuk mengajak serta masyarakat adat AKUR untuk melakukan identifikasi diri. Selain itu, dibutuhkan satu Undang-Undang payung sebagai acuan bersama yang komprehensif untuk melindungi, memenuhi dan memajukan hak-hak masyarakat adat.

“Bagaimana pun semua masyarakat adat punya hak untuk berpartisipasi dan melakukan identifikasi diri atas dirinya dan juga komunitasnya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia,” pungkasnya. (Utari/ LY)

Short link