Kabar Latuharhary

Rasisme dalam Konteks HAM

Kabar Latuharhary – Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, M. Choirul Anam menegaskan bahwa tindakan pengutamaan ras dan etnis tertentu juga merupakan suatu bentuk diskriminasi. Ada empat aspek tindakan yang dapat disebut diskriminasi, yakni pembedaan, pengecualian, pelarangan dan pengutamaan. Hal ini disampaikan Anam ketika menjadi narasumber diskusi online dengan tema “Mengatasi Rasisme Terstruktur di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Human Rights Working Group (HRWG), pada senin (15/6/2020).

“Dalam praktek kebijakan negara, tindakan diskriminasi ras melalui aspek pengutamaan adalah yang tersulit, hal ini disebabkan aspek tersebut tidak menempatkan atau menyebutkan suatu ras atau etnis secara eksplisit sehingga pihak lain tidak merasa menjadi korban. Tindakan diskriminasi ras melalui aspek pengutamaan lebih banyak dilakukan, masyarakat serta pemerintah lupa untuk melakukan pengawasan atas tindakan tersebut. Kalau tindakan pembedaan, pengecualian akan lebih mudah untuk diketahui. Tetapi apabila aspeknya adalah pengutamaan, kalau kita tidak jeli melihatnya tidakan tersebut akan dibiarkan saja. Karena aspek pengutamaan tidak berasa bagi yang lain. Hal tersebut yang ingin dipertegas mengenai makna diskriminasi ras dan etnis,” kata Anam

Terdapat dua hal penting untuk melihat bagaimana rasisme diatur dalam konteks hak asasi manusia. Pertama, mengukur apakah negara efektif melakukan penghukuman terhadap pelaku diskriminasi ras dan etnis. Kedua, seberapa efektif negara melakukan pencegahan. Dan dalam Konvensi Anti Diskriminasi Ras dan Etnis dengan tegas dijelaskan sasarannya, salah satunya ialah individu dan organisasi.

“Apabila individu atau organisasi melakukan propaganda dan sebagainya, tidak harus ada kata kebencian dalam konteks ras, tidak harus ada intensi melahirkan kekerasan. Tetapi cukup dengan intensi untuk membedakan manusia itu sudah bisa dikategorikan sebagai bentuk diskriminasi. Kalau kita membaca Konvensi Anti Diskriminasi Ras dan Etnis, sifat eksekutornya ada, dan orang yang melakukan tindakan rasisme dapat dituntut secara hukum. Oleh karena itu, Konvensi Anti Diskriminasi Ras dan Etnis istimewa, ” jelas Anam

Di dalam Konvensi Anti Diskriminasi Ras dan Etnis, lanjut Anam memiliki pencegahan yang tegas, disebutkan bahwa setiap upaya termasuk hasil pemikiran atau memperluas pemikiran tentang pengutamaan ras tertentu harus dilarang oleh hukum.

“Boleh berfikir apa saja, dan menyebarluaskan hasil pemikirannya. Satu hal yang tidak boleh adalah mengutamakan ras tertentu” ujar Anam

Diskusi kali ini, turut menghadirkan beberapa narasumber lain yakni Direktur Sekretariat Keadilan, Perdamaian, Keutuhan, Ciptaan (SKPKC) Fransiskan Papua, Yuliana Langowuyo, Guru Besar Universitas Indonesia, Prof. Melani Budianta, Dosen Senior Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Dr. Ani W. Soetjipto, M.A.

Yuliana Langowuyo menyatakan bahwa pendidikan formal maupun informal di Indonesia, tidak banyak memberikan materi terkait fakta perbedaan ras dan etnis yang sebenarnya merupakan kekayaan Indonesia. Menurutnya, lembaga pendidikan dan peran pendidik sangat lemah dalam membentuk karakter anak-anak sejak dini untuk belajar menghargai perbedaan.

“Di dalam buku-buku pendidikan yang saya baca dari dulu, hanya tercantum nama-nama seperti Budi, Wati, dan pembahasannya mengenai sawah serta padi. Hal ini diberlakukan sampai ke tempat saya, yang bahkan tidak ada sawah. Di tempat kami masyarakatnya bernama Yohanis, Obet, Filemon, dan kami makan sagu bukan makan nasi. Jadi, secara langsung banyak hal yang terjadi. Budaya kita dihilangkan, sebenarnya Papua diakui sebagai bagian dari negara ini atau tidak?,” ungkap Yuliana (Radhia/LY/RPS)


Short link