Banda Aceh-Penerapan Undang
Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah berlangsung 14 tahun. Beragam tantangan
dan peluang implementasi berbagai kekhususan Aceh yang diatur dalam UUPA
dinilai belum mewujudkan kesejahteraan dan terlaksananya pemenuhan dan
penghormatan HAM masyarakat Aceh secara optimal.
“Posisi Komnas HAM saat ini adalah
memfasilitasi bilamana ada hal yang ingin dikomunikasikan pemerintah Aceh ke
pemerintah pusat. Aktor itulah yang nanti seharusnya berbicara. Adapun yang
menjadi aktor tetaplah orang Aceh itu sendiri,” ujar Ketua Komnas HAM RI Ahmad
Taufan Damanik saat membuka Focused Group
Discussion (FGD) bertajuk
“Inventarisasi dan Review Kekhususan Aceh dalam Undang-Undang Pemerintahan
Aceh” di Hotel Kyriad, Banda Aceh,
(23/12/2020).
Dinamika pemerintahan beserta langkah resolusi damai di Aceh,
menurutnya, dapat menjadi model bagi proses damai setelah konflik bersenjata
puluhan tahun. Lantaran terlihat kebangkitan di semua sektor kehidupan.
“Aceh maju dan bermartabat adalah
cita-cita bersama yang harus diwujudkan, sehingga perdamaian menjadi bermakna
bagi semua elemen masyarakat Aceh. Sebagai model, langkah-langkah resolusi damai di Aceh bisa menjadi contoh baik bagi
daerah lain yang masih berkonflik baik di tanah air maupun di luar negeri,”
urai Taufan.
Resolusi damai Aceh melalui
penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki yang dilaksanakan di
Finlandia pada 15 Agustus 2006 terkait pemberian hak-hak khusus bagi Aceh untuk
mengatur pemerintahan sendiri (Self Government)
melalui Undang Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
UUPA adalah Undang-Undang yang mengatur
pemerintahan Provinsi Aceh, yang dijelaskan lebih lanjut dalam bentuk qanun
sebagai pengganti Undang Undang Otonomi Khusus dan hasil kesepakatan damai.
Namun, dalam pelaksanaannya masih
mengalami kendala. Salah satunya tentang aturan lanjutan dalam sistem
pemerintahan dan sosial. Sebagaimana disampaikan oleh salah satu peserta FGD,
Ketua DPR Aceh Dahlan Djamaluddin. Ia menyoroti permasalahan terkait demarkasi
kewenangan Aceh dan kewenangan nasional yang belum jelas.
Beberapa permasalahan lainnya
terkait tingkat kemiskinan di Aceh yang
saat ini masih tinggi meski dana otonomi khusus sudah digelontorkan dalam
jumlah besar. Masyarakat Aceh masih banyak yang mengalami keterbelakangan
pendidikan dan kesehatan.
Para peserta FGD berharap, UUPA menjadi
jalan mewujudkan kesejahteraan rakyat Aceh. Untuk itu, perlu ada suatu upaya
untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang apa yang tidak dapat
diimplementasikan, target yang akan dicapai, kapan dan bagaimana.
Masalah koordinasi antara
pemerintah daerah Aceh dan pemerintah pusat juga menjadi catatan yang perlu
untuk diperbaiki dan diperkuat. Baik pemerintah Aceh maupun pemerintah pusat dipandang
masih sangat perlu untuk memaksimalkan koordinasi yang ada.
Kedua belah pihak juga diharapkan
dapat memaksimalkan konsultasi-konsultasi terkait banyak hal di masa mendatang untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya ketidakharmonisan antara undang-undang di
tingkat nasional dan undang-undang di tingkat lokal.
Lebih lanjut, diskusi juga
membahas tentang peraturan qanun. Qanun
yang ada saat ini dianggap belum dapat melindungi hak-hak orang Aceh
sepenuhnya. Salah satu permasalahannya adalah Qanun Jinayat. Saat ini,
Peraturan Gubernur (Pergub) untuk Qanun jinayat belum tersedia sehingga
mempersulit pelaksanaannya.
Dari sisi pemberian hukuman,
qanun jinayat mengatur tentang penjara, cambuk dan denda. Pada kenyatannya,
hanya hukuman cambuklah yang paling banyak diambil sebagai hukuman bagi pelaku.
Hal ini memberikan peluang bagi pelaku kejahatan untuk dapat mengulangi
perbuatannya.
UUPA juga dinilai memiliki
keterbatasan dan kekurangan. Dengan adanya keterbatasan dan kekurangan tersebut,
maka potensi konflik cukup besar. Oleh sebab itu perlu diambil langkah-langkah
tepat agar konflik tidak mencuat ke permukaan karena pada hakekatnya UUPA
adalah undang-undang untuk menciptakan suatu perdamaian dan kesejahteraan
rakyat Aceh.
FGD ini dihadiri berbagai unsur,
antara lain M. Nasir Djamil (Ketua
Forbes Aceh / Anggota DPR RI), Illiza Sa'aduddin Djamal (Anggota DPR RI),
Dahlan Djamaluddin (Ketua DPRA), M. Djafar (Asisten 1 Pemerintah Aceh), Tengku Irawan
Abdullah (Ketua Komisi VI DPRA), Prof Ilyas (Dekan FH Unsyiah), T. Kamaruzzaman
(Advokat), Fuad Mardhatillah (mewakili Rektor UIN Ar-Raniry), Amrizal (Kabiro
Hukum Pemerintah Aceh), Al Manar (Wakil Rektor Unmuha), Mawardi Ismail
(Akademisi FH Unsyiah), Mukhlis Muktar (Advokat), Khairani Arifin (Direktur
Pusham Unsyiah), Syahrul Rizal (Sekretaris Peradi Banda Aceh), dan Hesphynosa Risfa (Tenaga Ahli DPRA).
Kepala Kantor Perwakilan Komnas
HAM Aceh Sepriady Utama turut berpartisipasi aktif bersama moderator Yarmen
Dinamika yang berasal dari kalangan jurnalis Aceh. FGD yang bertujuan untuk membangun komunikasi
antarelemen dan mendengarkan masukan-masukan atas UUPA ini juga dihadiri Koordinator Bidang Kerjasama antar Lembaga
Komnas HAM Sasanti Amisani, Sub Koordinator Bidang Kerjasama antar Lembaga Sri
Nur Fathya dan Koordinator Bidang Mediasi Asri Oktaviany. (SA/SU/SNF/IW)
Short link