Kabar Latuharhary – Secara umum, jika dilihat dari sisi positifnya, kondisi buruh di Indonesia dinilai semakin membaik. Walaupun kondisi tersebut belum dapat dikatakan cukup baik, jika dikaitkan dengan standar-standar HAM. Ada hal-hal yang perlu di evaluasi dan menjadi bahan perbaikan, baik bagi pemerintah, perusahaan, maupun buruh itu sendiri.
Demikian yang disampaikan Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan, Beka Ulung Hapsara dalam wawancara virtual penelitian yang berjudul “Kondisi Pekerja pada Rantai Pasok Sawit–Sebuah Studi Kelayakan". Wawancara untuk penelitian ini dilakukan oleh Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan (OPPUK) bekerja sama dengan ICF International, Senin, (8/2/2021).
Beka menggambarkan, bagaimana persoalan HAM yang dialami oleh buruh di Indonesia kondisinya semakin membaik. Tetapi, hal tersebut tidak cukup baik, jika dikaitkan dengan standar-standar HAM. “Artinya, ada ketidakpastian status buruh kontrak ataupun kepegawaian mereka. Dari segi keseharian juga, masih ada eksploitasi terhadap hak-hak kerja mereka. Misalnya, jam kerja, perlakuan dari majikan atau pemilik modal, maupun dari pekerja yang memiliki status lebih tinggi”, terang Beka.
Selain kedua hal tersebut, ada lagi persoalan dari segi standar fasilitas. Misalnya, bagi buruh perempuan yang memiliki anak kecil dan berkewajiban untuk menyusui, juga bagi buruh disabilitas, standar fasilitasnya itu harus ada.
Para pembuat kebijakan pada level lokal maupun aparat keamanan juga harus memiliki perlindungan untuk buruh pada Dinas Tenaga Kerja. Kebijakan yang dihasilkan tentu akan berdampak pada kondisi buruh di lapangan. Pada proses rekrutmen misalnya, sering terjadi ketidaksesuaian dengan fasilitas yang dijanjikan. Menurut Beka, proses rekrutmen dapat menjadi salah satu ruang untuk eksploitasi. Hal ini terjadi karena buruh selalu dinilai dalam posisi tawar yang sangat lemah. Mereka dianggap lebih membutuhkan pekerjaan dibandingkan dengan pemilik modal.
Menyoal kondisi tersebut, Beka menuturkan perlu adanya perbaikan-perbaikan khususnya di beberapa kondisi. Misalnya, dari segi standar lingkungan, relasi 3 pihak antara buruh, perusahaan dan pemerintah. Perusahaan yang harus terus memperbaiki standar. “Relasi antara buruh, perusahan dan pemerintah harus diperbaiki dan diperkuat. Dalam hal ini, buruh harus memiliki posisi yang setara, baik dengan pemerintah daerah maupun dengan perusahaan. Perusahaan juga harus terus memperbaiki standar, tentunya didorong dengan kewajiban-kewajiban dari pemerintah”, tutur Beka.
Terakhir menurut Beka, dari sisi serikat buruh itu sendiri juga harus baik. Solidaritas buruh harus kuat dan tidak mudah dipecah belah. “Diantara para buruh juga harus membangun solidaritas, baik itu secara ekonomi, kemanusiaan, dan politik. Artinya, tidak hanya sekedar memperjuangkan upah buruh saja, tetapi juga rasa aman dan nyaman dalam bekerja, serta membantu menyelesaikan permasalahan ekonomi dalam keluarganya maupun dalam serikut buruh itu sendiri”, pungkas Beka. (Niken/Ibn)
Demikian yang disampaikan Komisioner Pendidikan dan Penyuluhan, Beka Ulung Hapsara dalam wawancara virtual penelitian yang berjudul “Kondisi Pekerja pada Rantai Pasok Sawit–Sebuah Studi Kelayakan". Wawancara untuk penelitian ini dilakukan oleh Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan (OPPUK) bekerja sama dengan ICF International, Senin, (8/2/2021).
Beka menggambarkan, bagaimana persoalan HAM yang dialami oleh buruh di Indonesia kondisinya semakin membaik. Tetapi, hal tersebut tidak cukup baik, jika dikaitkan dengan standar-standar HAM. “Artinya, ada ketidakpastian status buruh kontrak ataupun kepegawaian mereka. Dari segi keseharian juga, masih ada eksploitasi terhadap hak-hak kerja mereka. Misalnya, jam kerja, perlakuan dari majikan atau pemilik modal, maupun dari pekerja yang memiliki status lebih tinggi”, terang Beka.
Selain kedua hal tersebut, ada lagi persoalan dari segi standar fasilitas. Misalnya, bagi buruh perempuan yang memiliki anak kecil dan berkewajiban untuk menyusui, juga bagi buruh disabilitas, standar fasilitasnya itu harus ada.
Para pembuat kebijakan pada level lokal maupun aparat keamanan juga harus memiliki perlindungan untuk buruh pada Dinas Tenaga Kerja. Kebijakan yang dihasilkan tentu akan berdampak pada kondisi buruh di lapangan. Pada proses rekrutmen misalnya, sering terjadi ketidaksesuaian dengan fasilitas yang dijanjikan. Menurut Beka, proses rekrutmen dapat menjadi salah satu ruang untuk eksploitasi. Hal ini terjadi karena buruh selalu dinilai dalam posisi tawar yang sangat lemah. Mereka dianggap lebih membutuhkan pekerjaan dibandingkan dengan pemilik modal.
Menyoal kondisi tersebut, Beka menuturkan perlu adanya perbaikan-perbaikan khususnya di beberapa kondisi. Misalnya, dari segi standar lingkungan, relasi 3 pihak antara buruh, perusahaan dan pemerintah. Perusahaan yang harus terus memperbaiki standar. “Relasi antara buruh, perusahan dan pemerintah harus diperbaiki dan diperkuat. Dalam hal ini, buruh harus memiliki posisi yang setara, baik dengan pemerintah daerah maupun dengan perusahaan. Perusahaan juga harus terus memperbaiki standar, tentunya didorong dengan kewajiban-kewajiban dari pemerintah”, tutur Beka.
Terakhir menurut Beka, dari sisi serikat buruh itu sendiri juga harus baik. Solidaritas buruh harus kuat dan tidak mudah dipecah belah. “Diantara para buruh juga harus membangun solidaritas, baik itu secara ekonomi, kemanusiaan, dan politik. Artinya, tidak hanya sekedar memperjuangkan upah buruh saja, tetapi juga rasa aman dan nyaman dalam bekerja, serta membantu menyelesaikan permasalahan ekonomi dalam keluarganya maupun dalam serikut buruh itu sendiri”, pungkas Beka. (Niken/Ibn)
Short link